Lembayung ungu di langit sudah hampir tertutup awan gelap. Sayup-sayup terdengar suara adzan maghrib dari mesjid seberang. Biasanya Indri pulang dari rumah Almira jam 7 malam. Namun karena kejadian tadi sore, acara les privat membaca Alqur'an itu menjadi lebih singkat dari biasanya.
Kacau.
Pikiran Indri kusut. Semakin teringat kejadian di telpon dengan Giwa, semakin awut-awutan syaraf otaknya. Seperti benang woll yang dimainkan kucing mungil, semakin cakar kecilnya menyentuh helaian benang, semakin kusut dan terberai tak beraturan.
Indri membalas lemah setiap orang yang menyapanya. Ada Mang Udin, Lucy dan beberapa teman kost yang tak sengaja berpapasan dengannya. Setelah sampai ke lantai 2 tempat kamar Indri berada, ia membuka pintu kamar dengan lemah. Gontai tubuhnya memasuki ruangan berukuran 3x3 meter persegi itu. Diletakkannya tas gembong di atas kasur. Indri lalu menuju meja yang terletak di samping kiri tempat tidur. Dilihatnya sebuah amplop coklat berukuran F4 yang sedari kemarin membuat hatinya bingung.
Indri mengambil amplop coklat tadi, membuka isinya dan membacanya kembali. Sambil terbaring di kasur untuk melepas lelah. Kebetulan hari ini Indri sedang kedatangan tamu bulanan, jadi tidak sholat.
Mata Indri menerawang jauh. Menatap langit-langit kamar yang putih bersih. Hatinya berdegup kencang setiap kali membaca isi biodata yang berada di tangannya itu.
Alif Whardana.
Siapa yang menyangka, ketua Rohis SALAM UI yang dikenalnya sangat simpatik itu sekarang sudah hampir dalam genggaman. Indri tidak mengerti kenapa guru mengajinya memberikan proposal ta'aruf kepada dirinya. Padahal Indri masih duduk di semester 6. Masih banyak teman-teman yang sudah siap. Kenapa harus aku? Pikir Indri saat itu.
Berkali-kali shalat istikharah yang terbayang hanya satu wajah. Muhammad Giwana. Inilah pula yang menjadi alasan Indri belum memberikan jawaban kepada Mba Tyas, guru mengaji Indri.
"Ind, apalagi yang kamu ragukan? Alif sudah menerima biodata kamu dan dia yakin. Cobalah untuk ta'aruf dulu, setelah itu jika tidak ada ketetapan hati maka kalian berdua bisa memutuskan."
Mba Tyas, alumnus UI tahun 1992, memberikan saran kepada Indri.
"Maaf mba, bukannya aku ragu. Tapi apakah tidak sebaiknya yang lain dulu mba? Saya masih kuliah. Saya tidak enak dengan temen-temen yang lain." Jawab Indri sambil tetap menunduk memandangi lantai keramik mesjid SALAM UI yang bersih berkilauan.
"Indri, kamu kenapa sih? Alif itu sudah pernah ta'aruf tiga kali lho , gagal semua. Masalahnya karena hati Alif tidak yakin. Baru kali ini dia langsung oke sama kamu. Tolong Ind, dicoba dulu" Mba Tyas tetap memaksa.
"Mba, aku tidak bisa" Jawab Indri lemah.
"Kamu sudah ada calon lain? Atau masih menunggu Giwa yang tidak memberi kepastian itu?" Mba Tyas memandang tajam mata Indri.
"Aku masih menunggu Kang Giwa, Mba. Dia dulu berpesan agar aku menunggunya sampai dia lulus. Bolehkah aku menyelesaikan amanat ini? Jika setelah lulus Kang Giwa tidak memenuhi janjinya, maka saya akan menerima tawaran Kak Alif, Mba" Mata Indri mulai berkaca-kaca. Ingin rasanya dia menyampaikan kegalauan hatinya yang luar biasa ini.
Dan kejadian kemarin membuat Indri bingung. Ada rasa bahagia tapi tertutup dengan rasa ragu yang luar biasa. Bagaimana caranya agar Giwa memberikan kepastian? Ataukah kisah yang dulu terjalin rapi hanya bagian dari sebuah cerita saja? Apakah amanat Giwa bisa disamakan dengan khitbah atau lamaran secara tidak langsung?
Ini aneh.
Lost contact. Selama 8 bulan Indri hanya menunggu.
Tak pernah pun dia berkunjung ke rumah orang tua Giwa sekedar untuk silaturohim atau mencoba bertanya kabar. Rasa malu mengalahkan semua keinginan itu.
Sekarang sudah ada jalannya. Nomor handphone Giwa ada di Almira. Tinggal minta saja selesai. Tapi Indri kembali merasa ragu.
Apakah harus perempuan yang memulai? Bukankah Giwa bisa saja datang ke kampus dan menitipkan surat ke Pondok Puteri. Atau bisa saja mendatangi Fakultas Farmasi. Toh, aku pasti masih ada disini. Begitu gumam Indri dalam hati.
Antara dua.
Giwa atau Alif.
(Bersambung)
giwa aja indri
ReplyDeletejangan berpindah kelain hati
emang gitu laki-laki
cuek apalagai giwa sibuk
ya indri..sama giwa aja
Hihi ... kok mba Wiwid jadi ngotot?
ReplyDeletebenar indri..giwa aja
ReplyDeletebetul kata nbak wid..laki laki emang cuel gitu..hehehe
benar indri..giwa aja
ReplyDeletebetul kata nbak wid..laki laki emang cuel gitu..hehehe
Setia sama Kang Giwa aja Candy...
ReplyDeletediantara dua pilihan emang gak enak #baper :D
Lama gk ngunjungi Kang Giwa.
ReplyDelete"Makin gile lu Ndro!" Kata Om Kasino 😂😂😂
Alif..;)
ReplyDelete