Monday, April 18, 2016

Kang Giwa (5) : "ke Malaysia"



Kalian tahu? Kejadian kemarin adalah kejadian paling berkesan dalam hidupku.

Saat kedua mata kita tak sungkan menyampaikan rasa
Saat tak perlu kata untuk menitipkan rindu
Jarak antara Kuala Lumpur dan Jakarta, kelak menjadi pemisah raga tapi bukan pembatas jiwa
Candy, jika kamu ingin melihatku maka tataplah bintang di angkasa
Jadikan rasa cinta kita seperti dia...
Ketika malam tiba dan menutup pintu Sang Surya...
dia adalah kunci yang membuka gelap menjadi cahaya

Candy, sekarang kamu mengerti,kan?
Akulah Sang ksatria yang akan melindungimu dari ganasnya dunia
Akulah peneduhmu dari panasnya mentari
Jika kelak aku merindumu... aku tidak akan menatap bintang
Karena dalam indahnya antariksa,
Kamu adalah Andromeda-ku...

Bagaimana? Bagus nggak?
Benar kata orang. Kalau lagi jatuh cinta kita jadi makhluk paling gombal sedunia. Kalau lagi jatuh cinta, seorang yang tak akrab dengan rima akan mendadak lihai bak pujangga. Seperti aku inilah. Tetiba menuliskan puisi atau syair atau entahlah apa itu namanya. Puisi tadi aku sertakan dalam surat keduaku untuknya. Surat yang aku tulis sebelum aku berangkat ke Malaysia. Ya, ini sudah waktunya. Penelitianku sudah selesai di Jakarta dan saatnya aku melanjutkan di negeri tetangga. Candy dan aku selama 6 bulan kemarin jarang bertegur sapa. Kesibukan kuliah dan juga skripsiku seolah menenggelamkan diri kami dalam rutinitas yang melelahkan. Sesekali berpapasan di halte Bikun dan kami tersenyum. Atau berpapasan di kantin Asrama dan kamipun hanya tersenyum. Cukuplah kejadian dulu sebagai isyarat kuat bahwa aku dan dia akan terus menjaga asa untuk impian kami berdua. Menikah setelah aku pulang dari Malaysia.

Maaf Candy, aku bukan mengingkari janji. Rencana awalku menikahimu di bulan Juni. Aku kira mudah.... ternyata tidak begitu. Ambu dan Abah ingin aku menyelesaikan studiku sampai selesai terlebih dahulu, barulah aku boleh menikah. Mereka juga melihat kondisimu yang masih belia dan baru mau menginjak semester dua. Susah payah aku meyakinkan kepada mereka bahwa pernikahan dini bukanlah hal yang tabu. Pernikahan adalah solusi bagi kita berdua. Akhirnya mereka sepakat merestui kita setelah aku pulang dari Malaysia.

Kututup buku "Indahnya Pernikahan Dini" karangan Muhammad Faudhil Adzim. Buku yang aku berikan juga kepada Indri agar dia semakin yakin dengan keputusan kami. Menggenapkan setengah agama di usia belia. Indri sih yang masih belia, aku sih sudah tua yah... hehehe. Suratku untuk Indri sudah aku masukkan ke dalam amplop warna merah muda. Sepasang dengan kartu ucapan yang aku beli di Gramedia tadi siang. Sudah seperti anak ABG aja ya! Seingatku kartu-kartu ucapan siap pakai yang dijual dengan aneka rupa itu aku beli terakhir saat SMP, itu pun waktu lebaran. Jadi dulu itu belum ada sms apalagi whatsapp, kami saling bertukar ucapan idul fitri dengan berkirim kartu ucapan. Aku ingat sekali motif ketupat dan bedug yang aku pilih. Lucu-lucu. Aku kirimkan melalui kantor pos untuk teman-teman yang rumahnya jauh. Indah nian bukan?

Abah dan Ambu aku pesankan jangan mengantarkanku ke bandara. Kasihan mereka sudah sepuh. Dua hari sebelum hari keberangkatanku ke Malaysia aku pulang ke Sukabumi dan meminta dua restu kepada mereka. Pertama restu untuk mencoba peruntungan di negeri seberang dan kedua adalah restu untuk menikahi Indri. Mereka berdua sudah mengenal Indri. Aku sempat mengenalkannya kepada mereka saat acara sunatan putera Kang Ridwan, kakak sulungku. Indri saat itu datang bersama Teh Annisa ke rumah kami. Aku juga mengundang beberapa teman Rohis waktu di SMA. Jadi nggak ketahuan juga kalau itu sebenarnya acara perkenalan Indri kepada Abah dan Ambu. Kalau tidak begitu, Indri nggak mau datang. Malu katanya. Kalau dikenalkan seorang diri. Pada saat acara sunatan keponakanku itu, Indri lebih banyak diam. Tapi ramah senyumnya selalu merekah. Ambu senang sekali padanya. Kata Ambu, Indri itu anaknya sopan, ramah dan wajahnya teduh. Aduh... Ambu tahu aja.
Berbeda dengan anak-anak gadis pada umumnya. Indri mempunyai cerita hidup yang pilu. Mungkin kematangan jiwanya memancarkan aura keteduhan kepada setiap orang yang memandangnya. Ramah dan rendah hatinya adalah sifat yang tumbuh karena dia sudah mengalami pengalaman paling pahit dalam hidupnya. Ya, terutama setelah musibah kecelakaan yang menewaskan ayah dan ibunya waktu dia kelas 3 SMP. Yang membuat hidupnya hancur lebur saat itu. Anak perempuan satu-satunya, ditinggal pergi untuk selamanya. Hidupnya kini dititipkan kepada Teh Rani, Bibiknya yang tinggal dekat dengan rumah orangtua Indri. Pamannya, Kang Hendra,adalah seorang mandor bangunan yang sudah tiga tahun ini bekerja sebagai TKI di Malaysia. Rumah peninggalan orangtuanya sengaja dikontrakkan untuk menambah penghasilan dan biaya hidup Sang Bibik. Tentulah, Indri dan ketiga keponakannya perlu biaya hidup yang tidak sedikit. Biaya sekolah dan makan sehari-hari. Walaupun Bibiknya juga membuka warung kecil-kecilan dan mendapat kiriman uang dari Malaysia setiap bulannya, tapi itu masih tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya hidup yang harus dikeluarkan.

Saat aku berpamitan kepada Abah dan Ambu, ada satu yang kurang. Apa coba? Masih ingat Si Mamat? Nah, adikku itu tidak bisa datang. Mamat sudah sibuk dengan proyek arsitekturnya. Dia dan beberapa temannya mendirikan perusahaan bersama untuk jasa konsultan dan juga proyek desain rumah, apartemen dan juga gedung-gedung kantor. Saat itu dia sedang mengerjakan desain perumahan elit di kawasan Dago, Bandung. Mamat menelponku meminta maaf dan berjanji akan datang menemuiku di Depok. Tepat sebelum keberangkatanku ke Malaysia. Yasudahlah aku menurut saja. Bagaimanapun adikku sudah punya amanah lain yang harus dia jalankan. Apalagi dia sudah lulus kuliah duluan. Lulus dalam 3,5 tahun. Anak pinterrr....

Jadi ingat...
Saat aku sampaikan perubahan rencana pernikahan kepada Indri. Dia sedih sekali. Entah kenapa. Sepertinya kecewa.
Apakah dia takut kehilanganku? Kuatir aku di Malaysia kepincut wanita lain? Ah masa sih segitunya. Aku senang kalau dia cemburu. Artinya kan dia sayang sama aku. Tapi sepertinya sih bukan karena alasan mellow murahan begitu... sepertinya dia trauma. Musibah yang menimpa kedua orangtuanya ketika dia duduk di kelas 3 SMP membuat dia trauma. Kehilangan orang yang paling dicintainya hanya karena perubahan rencana. Mirip-mirip sepertiku. Rencana menikah di bulan Juni akhirnya aku undur 6 bulan kemudian. Dulu, orangtuanya juga merubah rencana kepergian mereka ke Batam yang seharusnya bersama-sama dengan Indri setelah kelulusan SMP, malah dipercepat satu bulan. Indri yang saat itu sedang menjalani ujian akhir sekolah harus mengalah tidak ikut ke Batam, ke acara pernikahan sahabat dekat Sang Bunda. Jadi pernikahan sahabat dekat ibunya itu berubah dari jadwal yang seharusnya, entah karena apa. Tentu saja kecewa bagi Indri. Sedianya bisa ikut ke Batam sambil liburan kelulusan SMP, ini malah ditinggal sendirian. Dan yang lebih memilukan lagi adalah, orangtuanya pulang tinggal nama. Setelah kecelakaan pesawat yang ditumpangi oleh mereka tak meninggalkan jasad sedikitpun. Tragis. Pastinya perih dan pilu... duuh aku jadi ikut sedih jika mengingat cerita ini. Cerita hidup yang Indri ceritakan via surat kepadaku. Kami sering bertukar surat setelah Indri memutuskan untuk pindah dari asrama ke Pondok Puteri. Alasannya waktu itu karena diajak temannya, Lucy. Dia tidak bisa menolak permintaan sahabatnya itu yang dengan rela membayarkan uang kost-kost-an  demi bersama dengan Indri. Maklumlah, Indri ini sudah menjadi guru bagi Lucy. Selain bisa mengajari pelajaran kuliah, juga bisa mengajari Lucy privat belajar Alqur'an. Lucy belum bisa membaca Alqur'an. Inilah pula yang menjadi pertimbangan kuat Indri menerima tawaran Lucy. Menjadi manusia terbaik di mata-Nya yaitu yang belajar Alqur'an dan mengajarkannya, siapapun pasti mau. Apalagi dibiayai pula. Jadi, selama kami terpisah, kami saling bertukar surat. Ketemu janjian di halte Bikun Asrama pagi-pagi sekali hanya untuk menyerahkan selembar surat. Kami bertukar cerita agar saling mengenal satu sama lain. Dan tentu tanpa gombal-gombalan. Pamali kalau kata Nenek saya mah. Hehehe.

                                                       **********************

"Kang, saya ada acara tafakkur alam dari Rohis fakultas. Minggu depan Ke Puncak, Bogor.."
Begitu kata Indri saat aku serahkan surat merah mudaku. 
"Oh gitu... berapa lama?"
"Dua hari aja Kang, Sabtu sampai Ahad sore..."
"Oke.. hmmm... aman kan di sana?"
"InsyaAlloh aman Kang, panitia laki-lakinya juga ada,"
"Jangan deket-deket mereka yah.."
"Ya iyalah Kang.. masa deket-deket... saya kan gabung sama panitia perempuan"
"Yaa.. okelah.. hati-hati ya dan do'akan Akang juga... hari Ahad pagi berangkat."
"Pastilah Kang.. semoga lancar ya... maaf tidak bisa mengantar Akang ke bandara."
"Iya Akang juga tahu kamu pastinya nggak mau.... hehehe."
"Iya juga sih, basa-basi sedikit maksudnya Kang... " Indri malu ketahuan.
"Akang mah nggak butuh basa-basi... do'a tulus itu sudah cukup. Dan tolong jaga hati ya.. jangan dikasih ke siapa-siapa.." Pintaku gombal.

Indri hanya membalas dengan senyuman. Maniiisss banget... seperti permen lolipop rasa stroberi yang belum aku beli-beli juga. Cuma bisa bayangin aja. Nggak apa-apa kan? 

                                                                        **************** 
SABTU PAGI 

"Dengan Muhammad Giwana?"
"Benar, Pak .. saya sendiri. "
"Kamu bisa hadir hari ini, tidak? Jam 1 siang kami ada pertemuan dengan dewan direksi."
"Jadwal saya berangkat Minggu pagi, Pak."
"Tolong dirubah ya. Kamu wajib datang, ini menyangkut proyek yang akan kamu lakukan. Penting sekali."
"Baik, Pak. Saya akan usahakan."
"Harus..! Jangan sampai tidak.. kami tunggu kamu di Malaysia, ya!"

Begitulah percakapanku dengan seorang direksi Petronas bernama Darwis Dermawan. Dari nada suaranya bisa dipastikan beliau orangnya galak. 

Haduuh. Perubahan jadwal ini membuatku sedikit kalang kabut. Mulai dari harus mengubah jadwal tiket pesawat hingga harus menghubungi Abah dan Ambu juga Mamat. Saat pikiranku sedikit kacau. Aku jadi tidak fokus. Apalagi mendengar suara galak Pak Darwis Dermawan yang mengisyaratkan ada hal penting terkait proyek penelitianku. Ada apa ya? Apakah essay yang aku kirimkan via email tidak dianggap memenuhi harapan? 

Aku yang duduk di halte bis yang berada persis di depan agen travel untuk mengubah jadwal keberangkatanku,. Aku menunggu taksi yang lewat. Pikiranku tak tenang. Rencananya aku akan menelpon keluargaku nanti di taksi sambil perjalanan ke bandara. Biar sedikit tenang. Namun saat aku melamun begitu.... aku tidak sadar kalau.... AKU DICOPET!!!

Innalillaah...
Handphoneku raib!

Rencana mengabari keluarga pun gagal sudah.
Untung  dompet dan tiket aku simpan di tas pinggangku. 

Yasudahlah... sekarang yang ada di pikiranku adalah mengejar waktu agar aku tiba di Malaysia sebelum jam 1 siang. 

                                                           ***********************

Mamat yang tidak sempat dikabari tentang perubahan jadwal keberangkatan oleh Giwa, sudah bersiap-siap menuju Depok. Walaupun dari Bandung jam 10 malam. Demi kakaknya itu dia rela bepergian selarut ini. Daripada tidak bertemu sebelum ke Malaysia? Repot kaan...
Mamat sampai di halte Jembatan Biru UI jam 23.30 malam. Dan dia memberanikan diri berjalan menuju asrama tempat kakaknya itu.

                                                        ************************

"Astagfirullaah... aku salah mengabarkan ternyata. Aku melupakan sesuatu... aku baru ingat!" Kata ketua Rohis SALAM UI yang sudah terlanjur menginfokan ke semua Rohis Fakultas bahwa Giwa menjadi korban begal.

Diperhatikannya lekat-lekat mayat yang terbaring di ruang UGD Rumah Sakit Depok bersama dengan beberapa polisi. 

"Astaghfirullaah... ini bukan Giwa...Pak, Saya boleh mengoreksi keterangan Saya tidak Pak?" Sahutnya kepada seorang polisi.

"Apa? Salah orang?? Haduuh.. Nanti saja di kantor lah... mana wartawan sudah meliput tadi.  Kami sudah berikan keterangan kamu bahwa korban bernama Muhammad Giwana... memangnya kenapa? Kok plin plan? Nanti saja kita bahas di kantor! Sekarang ini mau otopsi mayat dulu!" 

Astaghfirullaah.... jantungnya semakin kencang. Ini fatal. Informasi ini jangan sampai menyebar dulu. Gawat!!!

Sang Ketua Rohis SALAM UI, teringat saat pertemuannya dengan  Giwa dulu..

"Perkenalkan Bang, Saya Giwa.. Muhammad Giwana... "
"Kamu berapa bersaudara?"
"Tiga, Bang... satu kakak dan satu adik!"
"Oh gitu.."
"Tapi Bang jangan kaget kalau ketemu adik saya yah. Kami kembar identik. Bedainnya gampang sih Bang... lihat saja rambutnya!" Hehehe... 

Dan dilihatnya rambut si mayat.... plontos!

Dia melanjutkan lamunannya... setahun yang lalu ketika awal mengenal Giwa.

"Siapa nama adikmu, Wa?" 
"Ahmad Juwana.... tapi aku panggil dia Mamat.. biar nggak ketuker. Masa yang satu dipanggil "Giwa" dan yang satunya dipanggil "Juwa" nanti ibu saya bingung kalau dia memanggil... yang datang dua-duanya!"


                                                   ****************************



























14 comments:

  1. jadi yg meninggal pas indri pulang malam itu adiknya giwa? duuh mb indri, penasaran ih

    ReplyDelete
  2. jadi yg meninggal pas indri pulang malam itu adiknya giwa? duuh mb indri, penasaran ih

    ReplyDelete
  3. Pengen ikut kang Giwa ke malaysia. Merembes mba Diksiya Mba.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hayuk atuh Kang Gilang kuliahnya dilanjut ke Malaysia.. waah makasih kalau suka diksinya.. "merembes" kayak atap dapur saya kalau kena hujan... hehe

      Delete
  4. Jadi yang meninggal juwA? Masih bersambung kan mb?

    ReplyDelete
  5. Nanti di Malay ketemu Upin Ipin gak mbk Indri???
    hehe ..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Boleh..boleh...bettul..bettul... senangnyeuuu.... elok pun!! Hehe...

      Delete
  6. Penasaran lanjutan ceritanya ..

    ReplyDelete