Monday, May 23, 2016

Kang Giwa (11) : " Arti Ksatria"



"Duduk, Giwa!" Abah menyuruh Giwa untuk duduk. Masih di ruang makan. Bersama Kang Ridwan. Nafas Abah masih terengah setelah kejadian tadi.

Untunglah ruangan itu terletak jauh dari kamar Ambu. Kira-kira sepanjang 20 langkah kaki orang dewasa. Bisa dipastikan pembicaraan mereka tidak akan sampai terdengar oleh Ambu, teh Maya dan juga Arga. Ruang makan yang biasa dijadikan tempat bercengkrama bersama keluarga dan penuh dengan memori indah saat Giwa dan Mamat masih kecil. Tempat dimana ada canda dan tawa. Hangat menyelimuti setiap hati yang hadir di sana. 

Kini, ruang makan inilah yang menjadi saksi runtuhnya harga diri orangtua oleh anaknya. Pupusnya rasa hormat seorang anak laki-laki kepada ayahnya. Giwa dan Abah. Setelah suasana kembali tenang, Abah mulai berbicara,

"Giwa, Ridwan, dengarkan Abah sekarang, jangan memotong pembicaraan Abah! Jangan bertindak bodoh sebelum amarah Abah meluap kepada kalian, mengerti!" Abah terlihat emosi.

Giwa dan Ridwan menuruti perintah Abah. Mereka berdua paham sekali bahwa jika Abah sudah berbicara tegas dan begitu percaya diri, maka hanya satu kemungkinan yang akan terjadi: Ada hal yang salah dengan mereka. Ya, ada salah paham. Pasti!

"Mari kita berbicara sebagai seorang ksatria..." Abah melanjutkan dengan suara yang lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Dia memandangi dua orang laki-laki tampan yang sangat dicintainya itu.

Abah : "Giwa, apakah Abah mengajarkan kamu untuk bertindak kurang ajar terhadap orangtua?" Suara Abah tegas dan dalam.

Giwa : "Tidak pernah, Bah. Tapi apa yang Abah lakukan itu sudah keterlaluan!" Giwa menjawab tak kalah kerasnya. Pandangannya masih setajam pedang.

Abah : "Kenapa kamu langsung meluapkan amarahmu dengan kata-kata penuh kebencian dan tuduhan yang tak berdasar? Apakah Abah pernah mengajarkan demikian? Jawab!!!"

Giwa : "Kenapa, Bah? Kenapa Abah masih membuat sandiwara lagi? Langsung saja jawab secara ksatria, Abah menikahi perempuan itu, kan? Diam-diam tanpa sepengetahuan kami. Bahkan mungkin Ambu juga tidak tahu. Apakah ini bisa dimaafkan?"

Ridwan yang berada di samping Giwa berusaha menenangkan adiknya itu. Dipeganginya bahu Giwa erat-erat. Kuatir ada kekhilafan lagi. Setelah sebelumnya Giwa hampir mendaratkan sebuah pukulan ke wajah Abah. Mata Giwa masih terlihat tajam. Siap menerkam Abah atas kesalahan besar yang telah Abah lakukan. Ibarat Harimau kelaparan yang menemukan kancil sendirian di tengah belantara. Tak lama kemudian Abah melanjutkan,

Abah : "Ridwan, darimana kamu mendapat kabar ini? Jawab!!" Kali ini Abah mengarah ke Ridwan. 

Ridwan : "Dari teman Ridwan yang tinggal di kompleks perumahan Suka Asri, tempat perempuan itu tinggal."

Abah : "Apa katanya?"

Ridwan : "Katanya dia melihat Abah memasuki rumah perempuan itu beserta Pak Jajang, yang biasa menjadi penghulu di KUA. Dia perhatikan sekitar 2 jam Abah telah berada di rumah itu. Abah memakai pakaian rapi sekali. Kemeja putih, celana hitam, jas hitam dan peci hitam. Layaknya seorang pengantin pria. Apa lagi kalau bukan sebuah pernikahan yang terjadi di sana?"

Ridwan menjelaskan kronologi kejadian di hari itu. 
Abah : "Kamu hafal rukun pernikahan, Ridwan?"

Giwa : "Sudahlah Bah, jangan bertele-tele.." Giwa mulai kesal dengan skenario Abah.

Abah :"Diam kamu Giwa! Sebelum kamu menyesali apa yang terjadi hari ini!"

Giwa terdiam. Matanya menatap sinis ke arah Abah. Sudah hilang rasa hormat itu.

Ridwan :"Rukun nikah ada 5, Bah, pengantin laki-laki, pengantin perempuan, wali, dua orang saksi laki-laki dan adanya ijab kabul"

Abah:"Apakah teman kamu itu bisa memastikan bahwa semua rukun itu terpenuhi?"

Ridwan :"Tapi Bah, orang-orang di kompleks itu tahu benar bahwa Abah telah menikahi perempuan itu. Bukan hanya teman Ridwan, Bah, yang melihat kejadian hari jum'at itu"

Abah :"Innalillaahi, bagus Ridwan, bagus sekali...kamu sudah membunuh Ayah kandungmu sendiri"

Abah menelungkupkan kedua telapak tangan ke wajahnya. Disertai tangis yang terdengar sayup. Merintih. Perih.

Ridwan :"Jaadi... mak..maksud Abah.. semua ini adalah...?"
Ridwan berdiri. Mendekati Abah yang sudah tertunduk lemah. Betapa Ridwan tidak percaya akan apa yang didengarnya barusan.

Giwa : "fitnah???"
  
Giwa mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk malas. Betapa kagetnya dia. Baru tersadar apa yang baru saja diperbuat oleh mereka berdua kepada Abah.
Abah : "Abah sudah mati sekarang. Terserah kalian! Kuburkan saja. Biar puas! Ksatria tua ini sudah tak bernyawa sekarang!"

Giwa dan Ridwan tidak bisa berbicara apa-apa lagi. Pandangan mereka tidak lepas mengarah kepada Abah yang meninggalkan mereka di meja makan. Abah pergi meninggalkan ruang makan yang seketika menjadi begitu mencekam, menuju mushola kecil yang berada di samping kamar Ambu. Dari jauh terlihat Abah mengangkat kedua tangannya dan melantunkan takbiratul ihram. Abah selalu menjaga wudhu. Dua rakaat bahkan sampai dua belas rakaat setiap pagi hari saat matahari mulai memperlihatkan batang hidungnya,  tidak pernah Abah tinggalkan.

Sholat Dhuha.

Giwa dan Ridwan serentak beristighfar. Menyesal.

Selang 15 menit setelah mereka mengambil air wudhu di kamar mandi, Giwa dan Ridwan sudah berada di belakang Abah. 

Ada yang berbeda.
Tangis lirih terdengar dari suara bacaan sholat Abah. Perih menyayat hati.

Giwa dan Ridwan, hanya bisa menyesali apa yang sudah mereka perbuat kepada Abah. Tak terasa air mata pun mengiringi mereka dalam khusyuknya shalat.

Ketika Abah sudah menyelesaikan 4 rakaat Dhuha-nya, dia membalikkan badan ke belakang menghadap kepada kedua anak laki-lakinya yang sekarang sudah dewasa dan layak menyandang gelar ksatria. Gelar yang selalu Abah janjikan kepada mereka jika sudah berusia 25 tahun dan sudah bisa bertanggung jawab pada diri sendiri atau bahkan sudah bisa bertanggung jawab terhadap isteri dan anaknya. Seperti Giwa dan Ridwan saat ini.

Perasaan bersalah menyelimuti Giwa dan Ridwan. Menusuk setiap milimeter syaraf di dalam otak mereka. Mengacaukan aliran darah dan hampir menghilangkan bulir-bulir molekul oksigen dalam darahnya. Kacau.

Mereka sudah mempercayai berita yang belum jelas kebenarannya.  

"Giwa, Ridwan, usia Abah mungkin juga sudah tidak akan lama lagi. Tolong jangan jadikan Abah kelak menanggung dosa yang tidak bisa Abah pertanggung jawabkan. Abah tidak ingin mempunyai anak durhaka." Air mata Abah mulai menetes. Membasahi kedua pipi lelaki paruh baya itu. 

"Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Tolong camkan itu! Seorang muslim tidak akan pernah mempercayai berita buruk yang menimpa seseorang tanpa mencari kebenarannya terlebih dahulu. Atau minimal, tabayyun, tanyakan, klarifikasi kepada orang yang bersangkutan" Abah menjelaskan dengan suara yang tercekat. Masih dirasakannya perih menelisik jiwa.

"Seorang ksatria tidak akan pernah ingkar janji. Abah sampai detik ini masih setia kepada ibu kalian."

Giwa dan Ridwan terkejut bukan kepalang. Serentak mereka langsung memeluk Abah dan memohon kemaafan dari seorang ksatria yang kini terluka parah. Tertusuk, tercabik oleh pedang dari anaknya sendiri. Layakkah mereka dipanggil ksatria? Setelah memporak porandakan benteng kokoh dari istana Ayah mereka? Yang sudah menyematkan gelar ksatria?

Keharuan tumpah seketika. Tangis mewarnai mushola kecil itu. Tempat yang selalu menjadi saksi keharmonisan keluarga mereka. Dulu dan sampai sekarang. 

"Abaah.... maafkan Giwa, Bah..." Giwa mencium tangan Abah. Begitupun Ridwan.

Terdengar langkah kaki mendekati mushola. Teh Maya yang hendak sholat Dhuha, tertahan di pintu masuk, masih berdiri sambil melihat pemandangan tidak biasa. Tiga orang laki-laki menangis begitu rupa. 

"Sudahlah. Kita semua tahu ini adalah takdir. Jangan bersedih terlalu dalam, kasihan arwah Mamat yang sudah tenang di sana.  Sekarang lebih baik kita semua berdo'a untuk Mamat ya."

Teh maya tidak tahu apa yang baru saja terjadi. 

                                                                            *****
 
Lantas, apa yang terjadi pada hari Jum'at disaat Abah dan seorang penghulu itu berada di rumah seorang perempuan selama 2 jam??

Bersambung.



 

11 comments: