Giwa seperti tertohok.
Kejadian dengan Abah telah membuatnya menyesal setengah mati. Tentang persangkaan buruk tanpa dasar. Tentang emosi dan kemarahan yang tak terbendung. Semua ini membuat Giwa tersadar akan lencana ksatria yang sudah disematkan Abah padanya, ingin sesegera mungkin ia lepaskan. Tak pantas rasanya dia menyandang gelar kehormatan itu.
Semua semakin jelas setelah Abah mengeluarkan sebuah surat undangan pernikahan. Kejadian 2 jam di rumah Mbak Annisa, seorang janda yang awalnya digosipkan sudah menikah dengan Abah pada hari Jum'at dua minggu yang lalu, ternyata sebuah lamaran atau khitbah.
Dalam undangan pernikahan yang akan digelar bulan depannya itu tertulis :
Annisa Triwardhani dengan Jajang Nurjaman
Acara lamaran atau khitbah selama 2 jam di rumah Mbak Annisa, bukanlah Abah yang akan menikah. Tapi sahabat Abah yang sudah satu tahun ditinggal wafat isterinya. Jajang Nurjaman, namanya. Pria gagah beranak tiga. Seorang penghulu yang bekerja di KUA Sukasari. Tidak selamanya seorang penghulu kerjanya menikahkan orang saja, bukan?
Sebuah kontemplasi mendalam. Sepanjang perjalanan Jakarta-Malaysia.
Giwa memejamkan kedua matanya. Ketampanan wajahnya tetap terlihat walaupun sedang terlelap. Lelah sekali hari ini. Lahir dan bathin. Dia berharap sesampainya di Malaysia badannya bisa lebih segar dan siap melanjutkan amanahnya di Petronas.
******
Penelitian metalurgi yang sedang dilakukan Giwa cukup menyita waktu dan tenaga. Dalam benak Giwa, lulus dengan cepat adalah tujuan dia saat ini. Bagaimana dengan Candy? Giwa tidak ingin memikirkannya dulu. Dia ingin fokus pada amanat dari Ambu sebelum ia berangkat ke Malaysia. Amanat Ambu kepadanya adalah agar ia segera lulus dan bekerja seperti almarhum Mamat. Sebuah amanat yang tertanam kuat di otak Giwa saat ini. Setidaknya dengan cara Giwa ingin menebus kesalahannya pada Ambu. Penebus rasa menyesal Ambu ketika ia tidak berhasil mencegah Mamat untuk datang ke Asrama UI demi kakaknya yang hendak berangkat ke Malaysia. Hanya demi bertemu Giwa dan memberikan salam perpisahan. Mamat begitu baik, bukan? Alasan inilah yang membuat Ambu menjadi begitu rapuh.
Giwa bertekad untuk membahagiakan Ambu.
Itu saja. Nggak ada yang lain.
******
Hari-hari Giwa di menara kembar dijalaninya dengan semangat '45. Targetnya adalah 6 bulan proyek ini selesai. Dan sekarang sudah bulan ke-5 Giwa di sana. Penelitian sudah selesai tinggal presentasi kepada direktur. Tapi sebelumnya Giwa harus melaporkan hasil penelitian kepada manager proyek yaitu Pak Darwis Darmawan, yang tidak lain dan tidak bukan adalah ayah dari Almira.
Giwa melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri menuju ruangan Pak Darwis. Kemeja putih yang dikenakannya begitu pas dengan badannya yang sedikit berotot. Celana hitam yang begitu rapi dikenakan membuat Giwa bak seorang model catwalk. Ditambah lagi postur tubuhnya yang tinggi membuat dia semakin gagah. Jarang-jarang Giwa berpakaian rapi seperti ini. Pangling! Dulu semasa menjadi anak kuliahan, tahu sendiri kan anak Metal alias Metalurgi nggak boleh rapi-rapi banget, nanti nggak diakui.
Ohya, tentang Pak Darwis, dia adalah manajer proyek yang sudah Giwa anggap sebagai saudara sendiri. Kenapa? Karena mereka sama-sama dari Indonesia, wajarlah jika ada perasaan senasib dan sepenanggungan yang kuat sekali.
Setibanya di depan pintu ruang Pak Darwis, tampak Giwa berhenti sejenak dan mengambil nafas panjang, matanya sengaja ia pejamkan, bibirnya khusyuk membaca ayat : Rabbishrohli shodri wayassirli amri...
"Assalamu'alaikum Bapak... "
Giwa menyapa Pak Darwis sembari menyodorkan telapak tangan kanannya. Hendak bersalaman.
"Wa'alaikumussalam. Eh Mas Giwa..waah sepertinya ada good news nih. Duduk... ayo silahkan duduk." Pak Darwis mempersilahkan Giwa untuk duduk dan melaporkan hasil akhir penelitiannya.
"Alhamdulillah, positif, Pak! Semua sesuai dengan harapan. Hasil uji dalam failure analysis sudah menunjukkan hipotesa yang bermakna" Senyum Giwa saat itu begitu menawan. Merekah ibarat senyum pangeran William yang sedang menyapa rakyatnya pada pawai pernikahannya dengan Kate Middleton. Bahkan ini lebih manis lagi. Wajahnya yang putih dan teduh, matanya yang tajam seperti elang, deretan giginya yang rapi menambah indah senyum yang dihaturkan di hari yang bahagia ini. Tidak sia-sia Giwa berada di Universitas Teknologi Petronas (UTP) selama 5 bulan berkutat dengan proyek penelitiannya dalam hal analisa logam.
"Selamat Mas... saya ikut bangga melihat kecerdasan anak bangsa yang tidak kalah dengan negara-negara lainnya di sini. Kamu mengharumkan nama Indonesia dan benar-benar membuat saya tidak salah pilih. Ohya kamu tau kan, program scholarship untuk S2 di sini sudah menunggumu, bagaimana?" Pak Darwis langsung menembak Giwa untuk melanjutkan studinya di UTP.
Giwa memandang Pak Darwis dengan senyuman manisnya.
"Maaf Pak, saya sudah janji kepada ibu saya kalau setelah selesai proyek ini dan saya lulus maka saya akan bekerja di tanah air."
"Jadi kamu menolak tawaran emas ini? Gila kamu Giwa... semua orang berebut ingin mendapat kesempatan ini lho!" Wajah Pak Darwis mulai menampakkan ketidaksetujuannya dengan prinsip Giwa.
"Maaf Pak, ini janji saya. Nantilah setelah saya kembali ke Indonesia, mungkin saya akan memikirkan kembali tawaran itu." Jawab Giwa tenang.
"Kamu berbeda, Giwa. Begitu berbakti dan penurut dengan orang tuamu. Coba saya punya anak seperti kamu. Pasti saya akan sangat bahagia. Tidak seperti Almira. Anak itu selalu saja membuat masalah. Untunglah guru lesnya cerdas. Anak UI juga kayak kamu, Giwa!" Tak sengaja Pak Darwis bercerita tentang Almira.
"Maaf Pak, jadi guru lesnya puteri Bapak itu anak UI juga, begitu?" Giwa penasaran.
"Iya. Kalau bukan karena saran dia, mungkin Almira tidak akan seperti sekarang ini. Hmm...tapi saya sering berfikir sendiri, apakah saya terlalu keras sebagai orangtua ya? Saya egois ingin Almira masuk jurusan eksakta dan kelak bisa menjadi dokter gigi, padahal dia mungkin tidak pernah berfikir sedikitpun untuk menjadi dokter gigi." Pandangan Pak Darwis terarah ke luar kaca di lantai 10 menara kembar itu. Memandang lepas namun tak berpijak. Kosong.
"Bapak ingin saya tetap ada di sini?" Tanya Giwa memastikan bahwa keberadaannya tidak mengganggu kehidupan pribadi Pak Darwis.
"Oh.. sorry..sorry! Saya jadi curhat ya... tapi kalau kamu bersedia, saya hanya ingin masukan saja sih, sebagai seorang ayah, jujur saya merasa telah gagal. Karena mendidik anak terlalu keras. Cobalah kamu nilai saya, Giwa!" Pak Darwis meminta Giwa untuk tetap di ruangan.
"Waduh, saya tidak berani menilai Bapak. Siapalah saya, Pak. Tapi kalau boleh saya berpendapat, Pak. Sebenarnya setiap ayah pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Hanya saja kadang Si anak tidak bisa menangkap pesan yang tersirat ini. Dalam didikan keras ayah saya, ada kalanya dia berubah baik seperti malaikat. Itulah yang menjadikan saya seperti sekarang ini, Pak." Senyum Giwa sudah tidak terlihat lagi. Berganti dengan sedikit kesan kesedihan yang masih tersisa tentang Abah. Tentang kelancangannya pada Sang ayah yang sudah mendidiknya dengan sempurna.
"Kenapa kamu sedih, Giwa?" Pak Darwis menangkap ada yang berubah dari mimik wajah Giwa.
"Oh, saya hanya sedih teringat dengan ayah saya, Pak. Saya sudah kangen ingin segera pulang." Kini Giwa memberikan secuil senyuman hambar. Berusaha menutupi kenangan buruknya terhadap Abah.
"Jadi... menurutmu sikap saya sudah benar terhadap anak saya?" todong Pak Darwis meminta pemakluman.
" Wah, kalau menghakimi apakah itu salah atau tidak, itu bukan kewenangan saya. Bapak lebih tahu apa yang terjadi dan hikmah apa yang bisa Bapak dapatkan. Apa yang sudah lewat tidak ada untungnya untuk disesali. Saya yakin Bapak sudah tahu apa yang harus dilakukan. Bapak adalah seorang manager handal." Giwa panjang lebar menjelaskan dengan hati-hati. Kuatir menyinggung.
"Oke. Terimakasih, kamu sudah mau berbagi pengalaman dengan saya."
"Oh, sama-sama Pak, mohon maaf saya tidak bisa memberi saran lebih lanjut. Tapi puteri Bapak siapa tadi namanya? Hmm.. Almira ya? Sekarang sudah masuk jurusan eksakta?"
"Iya, itu karena saran Mbak Indri, guru lesnya. Ternyata sumber masalah Almira adalah teman-temannya sendiri. Ide cerdas untuk pindah sekolah adalah solusi paling efektif. Sekarang Almira sudah lebih bebas jiwanya dan masuk jurusan IPA dengan mudah. Saya senang sekali."
"Indri?" Betapa kagetnya Giwa mendengar nama itu. Nama yang 5 bulan ini tidak pernah dihiraukannya sama sekali.
"Kamu kenal dengan Indri? Waah jangan-jangan pacar kamu yah? Anaknya cukup manis dan anggun. Cocoklah buatmu." Pak Darwis menggoda Giwa. Diiringi tawa renyah pencair suasana.
"Aduh Pak, nama Indri kan banyak." Giwa meragu. Rona merah mulai menyemburat di wajahnya.
Pak Darwis tertawa lagi melihat kecanggungan Giwa. Lalu dia memberikan nomor handphone Almira kepadanya.
"Maaf Pak, kenapa Bapak memberikan saya nomor Almira?" Tanya Giwa setelah melihat kiriman contact di handphonenya.
"Caelah, Wa! Kan kamu pengen mastiin itu guru les Almira apakah benar pacar kamu apa bukan? Telpon atau sms saja Almira dan tanyakan tentang Indri. Pasti Almira cerita panjang lebar tuh." Sekarang gaya bicara Pak Darwis sudah bukan seorang manajer lagi, tapi sebagai sesama laki-laki.
Giwa membalasnya dengan senyuman.
Tak ingin digodai lagi.
Setelah itu Giwa pamit.
(Bersambung)
Wah kang giwa..
ReplyDeleteSemakin asyik aja. Benarlah Kali abah nggak nikah lagi
Terimakasih sudah setia menunggu Kang Giwa..mba wid..
DeleteMba in...gimana klo cerbung kang giwa dinomerin, biar yg gak rajin bw kya sy gak ktinggalan urutannya...hiks..hiks
ReplyDeleteMba in...gimana klo cerbung kang giwa dinomerin, biar yg gak rajin bw kya sy gak ktinggalan urutannya...hiks..hiks
ReplyDeleteBaik mba... usul yg bagus... siapp laksanakan
DeleteKirain saya ketinggalan kisah kang Giwa. Ternyata tidak, alhamdulillah. Saya setia menunggu kelanjutannya Mba Indri.
ReplyDeleteAlhamdulillaah... do'akan saja semoga aku istiqomah menulis walaupun kesibukan tak mengenal jeda... hehe
Deleteoohh, ini awal kang giwa bisa bertemu dengan almira..terjawab penasaranku
ReplyDeleteyoi..yoi...
DeleteKirain saya ketinggalan kisah kang Giwa. Ternyata tidak, alhamdulillah. Saya setia menunggu kelanjutannya Mba Indri.
ReplyDeleteoohh, ini awal kang giwa bisa bertemu dengan almira..terjawab penasaranku
ReplyDeleteMau aja ke utp, dekat asramaku loh kang
ReplyDeleteBahaya ah ketemu mba dewi mah.. nanti lupa sama Candy dong..hihi
DeleteSeru nih bu coba dijadiin sinetron
ReplyDeletekadang terpikir begitu... tapi masih belajar akunya.. malu juga.
DeleteSeruuu bu ceritanya, latarnya di UI juga jadi kebayang
ReplyDeletemakasih Fitri... iya biar mengobati kangen sama almamater
Delete