Lima belas menit lagi aku akan segera sampai. Aku turun dari Colt mini jurusan Bogor-Sukabumi. Mobil tadi terkenal dengan kegilaannya. Kecepatannya mirip dengan mobil balap. Tak heran orang-orang di sini menyebutkan "mobil gila" . Herannya, selama ini selamat-selamat saja tuh! Para penumpang yang terseok-seok mengikuti arah mobil, enjoy-enjoy saja, malah ada yang tetap lelap dalam tidurnya.
Langit sudah mulai meredup. Kuhela napas panjang sejenak sekedar melepas lelah perjalanan hari ini. Segera aku tuju sebuah rumah dengan cat putih yang dipenuhi aneka tanaman hijau dan bunga-bunga. Rumah yang jauh dari kesan mewah namun keasriannya mampu menawan setiap mata yang memandangnya. Kulirik Swatch di tangan kiriku, pukul 17.30 bbwi. Sebentar lagi maghrib. Apakah jenazah Juwa sudah dikebumikan? Semoga saja belum.
Aku berlari!
Aku berlari!
Banyak orang-orang yang berkerumun di rumah asri itu. Pastilah orang-orang kampungku yang bertakziah, pikirku saat itu.
"Assalamu'alaikum..!!! Abah... Ambu...!"
Dengan cemas aku menerobos kerumunan orang-orang yang memadati rumahku. Mereka berdesakan ingin melihat ke dalam. Mataku memandang tajam menuju target yang menjadi pusat perhatian orang-orang. Kenapa seolah ada tontonan? Bukankah ini suasana berduka?
"Pergiii....!!! Semua pergiii....!!! Mamat masih hidup! Siapa bilang dia sudah meninggal? Mamaaat... bangun Maat!!!"
Ambu???
Ambu yang tak lepas memeluk jasad adikku sambil berteriak mengusir semua orang yang datang. Pecah tangisnya tak terkira. Tapi kenapa Ambu? Segera aku menghampiri dan memeluk Ambu. Semua orang mulai mengambil langkah mundur membiarkan aku agar leluasa mendekati Ambu. Mata mereka tetap memandang ke arah kami. Pak Ustadz Rahman dan beberapa santrinya segera mengamankan jenazah Juwa untuk disholatkan di Mesjid. Aku ingin melihat Juwa, ingin memeluknya. Tapi fokusku terpecah kepada Ambu yang menjadi.... berbeda!
"Ambu... ini Giwa... ikhlaskan Mamat, Ambu... sabar... ini takdir..." Aku peluk erat ibuku sambil berusaha menenangkan. Tapi apa yang terjadi? Ibuku mendadak histeris dan langsung mendorong tubuhku dengan kuat. Aku tersungkur. Menabrak beberapa orang tetanggaku yang masih berkerumun ingin menonton adegan bak sinetron kejar tayang ini. Mendadak tenaga Ambu bisa sebegitu kuatnya. Mata Ambu melotot dan mulutnya bergetar... jari telunjuknya menuju ke arahku dan kemudian ia berteriak...
"KAMU!!! Kamu penyebabnya!
Astaghfirullaah.... Ambuu....
Aku menatap sedih... napasku terengah-engah ditambah kepanikan yang tiada tara.
Ambu adalah seorang guru mengaji. Keimanan dan kesabarannya tidak dapat diragukan lagi. Kenapa bisa? Kenapa dengan goresan takdir ini Ambu menjadi kacau. Tak terkendali. Apakah karena Juwa adalah anak kesayangan Ambu? Begitu kuat ikatan bathin Ambu dengan Juwa.
Teriakan Ambu semakin keras menyalahkan aku sebagai penyebab kematian Juwa. Ambu menghampiriku dan.... "Plaakk!!!" Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Aku terhunyung. Aku mencoba menoleh ke arah Ambu. Selang berapa detik sebuah benda besar mengenai kepalaku dan rasanya sakit tak terkira. Astaghfirullaah..... Ambu melayangkan sebongkah kayu besar yang biasa dipakai untuk menumbuk padi. Sesuatu mengalir hangat di pelipis mataku dan pandanganku sudah tidak sejelas tadi. Mendadak semua buram.
Beberapa orang lelaki kekar berusaha menenangkan Ambu tapi tetap tak berhasil. Tidak ada Abah disini. Abah sedang menyiapkan tanah kuburan untuk Juwa saat itu. Begitu keterangan dari salah seorang tetanggaku.
"Ambuu... sudah Ambu... istighfar Ambu...!!" Tidak berapa lama kemudian Abah datang dan berlari menghampiri Ambu lalu merengkuh tubuh Ambu dengan paksa, Ambu meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari Abah. Dengan sekuat tenaga Abah berusaha menangkis dan memasukkan Ambu ke kamar lalu menguncinya dari dalam. Abah dan Ambu berdua di kamar. Masih dengan teriakan histeris dan amukan yang tak terkendali. Kasihan Abah... aku kuatir terjadi sesuatu pada Ambu dan Abah. Aku segera menggedor-gedor pintu kamar dan meminta Abah untuk membukakan pintu untukku.
"Ambuu... sudah Ambu... istighfar Ambu...!!" Tidak berapa lama kemudian Abah datang dan berlari menghampiri Ambu lalu merengkuh tubuh Ambu dengan paksa, Ambu meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari Abah. Dengan sekuat tenaga Abah berusaha menangkis dan memasukkan Ambu ke kamar lalu menguncinya dari dalam. Abah dan Ambu berdua di kamar. Masih dengan teriakan histeris dan amukan yang tak terkendali. Kasihan Abah... aku kuatir terjadi sesuatu pada Ambu dan Abah. Aku segera menggedor-gedor pintu kamar dan meminta Abah untuk membukakan pintu untukku.
Tak ada reaksi dari Abah.
BRAAAKKK!!!
Aku langsung mendobrak pintu kamar dengan sisa kekuatan yang aku miliki. Kelelahan dan sakit di kepalaku seakan tidak terasa lagi. Yang ada hanya kepanikan dengan apa yang ada di depan mataku saat ini. Aku lihat Abah sudah tersungkur di ujung tempat tidur. Entah apa yang dilakukan Ambu. Seketika kekuatannya seperti orang yang kesurupan. Segera aku keluarkan jurus bela diri Aikido-ku dengan terpaksa. Bagaimana tidak? Saat ini aku harus melawan ibu kandungku sendiri???
Dengan satu gerakan telak, aku kunci tangan ibu dan aku lemahkan titik kendalinya. Ambu merintih kesakitan. Matanya tetap melotot, merah membara seperti iblis yang siap memuntahkan kebenciannya padaku. Dan saat mataku balas memandangnya dan melantunkan ayat-ayat rukyah.... Ambu meludahiku dengan bersungut. Aku tak perduli! Aku lanjutkan bacaan rukyahku.
"Kang...!! Ini pak dokter sudah datang.... !!"
Aku mengenal suara itu.
Segera dokter muda itu menghampiri kami. Satu suntikan diazepam 5 miligram berhasil membuat Ambu kembali tenang.
Abah mulai tersadar.
Abah mulai tersadar.
"Giwaa...." Panggilnya lemah.
Sedihnya
ReplyDeleteAmbu kehilangan sangat
Iya mba wied... sbnrnya ada sesuatu dengan ambu...
ReplyDeleteIya mba wied... sbnrnya ada sesuatu dengan ambu...
ReplyDeleteAmbu kenapa tuh? masa' kesurupan?
ReplyDeleteBisa net...
DeleteSampai mbrebes aku.bacanya
ReplyDeletembrebes itu artinya apa ya? sedih?
DeleteSampai mbrebes aku.bacanya
ReplyDeleteTegang bacanya... Ambu, sabar yaa
ReplyDeletemakasih sudah mampir mba...
DeleteSangat terpukul si Ambu..
ReplyDeleteKasihan...
iya mas Rahim... kasihan Ambu
DeleteTegang! Nggak sabar ingin tahu kelanjutannya.
ReplyDeleteAda apa dengan ambu. Serem nian
ReplyDelete