Saturday, May 7, 2016

Dua Masa Kecil



Senyumku merekah.
Mataku tak henti-hentinya memandangi wajah manisnya yang mempesona. Dengan kostum tari Badinding yang sebentar lagi akan tampil membuka acara seminar pendidikan, puteriku bersama sembilan temannya telah bersiap-siap. Acara festival kreasi dan seni yang diadakan di sekolah puteriku itu sudah dimulai sejak dua hari yang lalu. Acara yang terdiri dari pentas seni, pameran, wisuda Alqur'an dan yang terakhir adalah seminar pendidikan. Seminar yang sedianya rutin diadakan setiap tahun ini selalu menghadirkan narasumber yang kompeten di bidangnya. Kali ini Prof. Arief Rahman Hakim didaulat untuk memberikan tips dan trik dalam mendidik anak secara efektif terutama dalam bidang pendidikan. Sebelum acara inti dimulai, hadirin dimanjakan dengan penampilan anak-anak siswa SMP dan tak lupa perwakilan dari guru. Lengkap! Ada marawis, puisi, paduan suara dan aneka tari. 

Kupandangi lagi puteriku dari atas sampai bawah. Dia sudah besar ternyata.


Namanya Sahla dan aku memanggilnya Teteh Lala. Aku perhatikan tinggi badannya sudah melebihi tinggi badanku. Sangat berbeda. Padahal dia baru menginjak kelas 1 SMP. Bagaimana nanti kalau dia sudah kuliah ya? Bundanya kecil mungil kontras dengan ananda yang tinggi semampai bak peragawati. 

Anakku yang pertama ini mempunyai sifat pendiam dan pemalu. Kalau di sekolahnya dia terkenal sangat kalem dan anggun. Kalau tidak ditanya, dia tidak akan berbicara. Sampai-sampai ada temannya berujar begini ketika mendengar anakku tiba-tiba berbicara, "Sahla bisa ngomong juga ya?" Aduh sampai segitunya ya. Belum lagi sifatnya yang kalem dan misterius ini membuat teman-temannya yang laki-laki menjadi penasaran. Suatu hari sepulang sekolah Si Teteh cerita bahwa ada kakak kelasnya yang selalu mengikuti dia.

"Umi... Lala sebel banget dech. Tadi ada Kak Stalker yang ngeliatin Lala pas ke kantin" Katanya.
"Stalker? Siapa dia? Kok Teteh sebut dia stalker kenapa?" Aku balik bertanya.
"Soalnya dia itu kepoin Lala di Facebook, instagram, LINE... sebel dech!" Gerutunya.
"Resiko Teteh wajahnya cantik..." Godaku.
"Emang Lala cantik apa, Mi?" Jawabnya memastikan.
"Iyalah... uminya aja cantik, pasti anaknya cantik juga kan?" Aku masih menggoda puteriku itu. 
Lucu. Melihat wajahnya yang tersipu malu. Langsung saja dia berlari menuju kamarnya. Aku hanya tersenyum memandang dari kejauhan dan melanjutkan aktivitasku di dapur.

Kelebihan puteriku yang pertama adalah kecintaannya pada hafalan Al-Qur'an. Begitu mudahnya dia menghafal membuatku terkagum-kagum. Dia menjadi siswa akselerasi dalam hafalan Qur'an di sekolahnya. Sekarang hafalan dia sudah 2 juz, yaitu juz 30 dan 29. Saat ini dia sedang fokus melanjutkan hafalannya ke juz 1. Alhamdulillaah, semoga menjadi hafidzah ya sayang...

Ada lagi kelebihan puteriku yaitu bakatnya dalam menggambar manga. Hobi menggambarnya ini kadang bisa menghabiskan waktu sampai berjam-jam di kamar. Aku sering menegur dan mengingatkan agar dia bisa membagi waktunya dengan baik. Jangan sampai waktu libur habis untuk menggambar di kamar saja. Anak-anak sekarang sudah berbeda dengan zamanku dulu, saat masih minimnya sarana belajar dan juga permainan saat itu membuat aku dan teman-temanku dulu lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Kadang bermain ke sawah atau kebun. Berenang di kali... Aihh...indahnya masa kecilku. 

Selain dua kelebihan tadi, ada lagi bakat puteriku yang lain yaitu kepiawaiannya dalam mengotak-atik komputer. Macam-macam aplikasi didownload dan hal ini pula yang sering menyebabkan laptop hang dan berujung pada omelan ayahnya. Hehehe... 

Ada kelebihan tentulah ada sisi kekurangannya. Puteriku mempunyai sifat ceroboh dalam hal-hal kecil. Kadang tidak merencanakan sesuatu dengan matang jauh-jauh hari. Suka panikan. Puteriku juga kurang tanggap terhadap pekerjaan rumah tangga. Kalau tidak disuruh pastilah cuek dan asyik dengan hobi menggambarnya. Dan hal ini pula yang sering aku bandingkan dengan masa kecilku yang sejak kelas 3 SD sudah diajari mandiri dan harus bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Mulai dari mencuci baju, mencuci piring, menyapu halaman, berbenah rumah, memasak sayur bening dan menjaga adik. Luar biasa sekali waktu itu. Aku bahkan tak mengerti kenapa seorang puteri Pak Lurah sepertiku ini  tetap saja tidak istimewa. Ibuku dulu mendidikku dengan keras. Kadang aku malu dilihat teman-teman dan tetangga.  

Ada kejadian masa kecilku yang paling membuat aku malu.
Jadi dulu itu, kami tidak mempunyai kamar mandi di rumah. Maklumlah, di sebuah desa di pedalaman Sukabumi yang saat itu listrik saja belum masuk, kehidupan warga masih sangat sederhana dan terbatas sekali. Termasuk aktivitas mandi. Aku harus berlomba-lomba pergi ke tempat pemandian umum. Pagi-pagi sekali aku sudah tiba di sana. Tak lupa dengan titipan dari Ibuku yaitu satu baskom berisi cucian piring bekas makan tadi malam. Dan aduuh kok ada satu buah wajan hitam pula. Repotnya bisa dibayangkan yah, pagi-pagi mau sekolah aku tetap harus membantu pekerjaan Ibu terlebih dahulu. Tapi tidak apa, aku sudah terbiasa, teman-temanku juga sama. Kami semua menikmatinya tanpa ada keluh dan kesah.

Aku bersama dengan dua orang temanku melakukan semua aktivitas rutin kami pagi itu. Setelah selesai, kami mengenakan kain untuk menutup tubuh. Aku adalah yang paling kecil diantara teman-temanku. Mereka badannya lebih besar dan tinggi. Saat perjalanan pulang,  kami harus melewati jalanan besar. Tempat lalu lalang motor, ojek dan beberapa mobil truk atau pick up yang mengambil hasil panen. Tak lupa orang-orang yang berjalan kaki hendak menuju kebun atau anak-anak yang berangkat sekolah.

Lalu apa yang membuat aku malu? Apa yang terjadi? 
Jadi, ketika hendak menyebrang, aku terkaget-kaget dengan sosok yang lewat di depanku. Siapa dia? 
Pak Guru...! 
Hwuaaaa.... aku malu setengah mati!

Seorang anak kecil dengan berbalut kain bermotif batik dengan tangan kiri menyanggah sebuah baskom berisi cucian piring dan tangan kanannya memegang wajan hitam? 

"Neng Indri...?" Sapa guruku sambil menatapku keheranan disusul dengan senyuman di bibirnya.

Tak sempat aku menjawabnya, aku langsung berlari menuju rumahku yang tepat berada di seberang jalan. 

MALU.










5 comments:

  1. Subhanallah,bahagianya..Teteh Lala cantik dan sholehah. Sukses selalu ya, nak..jadilah kebanggaan Ummi dan Abi mu..:)

    ReplyDelete
  2. Syukur at as kebahagiaan memiliki putri sholehah ya mb.
    JD ngaca diri ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillaah mba wied...aku juga kadang malu sendiri kalau ditanya hafalan qur'an.

      Delete
  3. Bu Indri, nama panggilan anak kedua saya juga Lala...hehe

    ReplyDelete