Wednesday, April 13, 2016

Mencicipi Takdir



Sebenarnya agak riskan kalau bicara soal takdir. Semoga tulisan ini tidak adigung karena telah berani "mencicipi"-nya. Aku menuliskan tema ini karena terlintas begitu saja. Apa sebenarnya yang ingin aku paparkan dari judul yang agak aneh seperti di atas? 

Begini,
Ceritanya aku sedang mengalami kejadian yang berhubungan dengan takdir. Kemudian tibalah pada kalimat yang paling umum diucapkan oleh hampir setiap orang yaitu, "Mau bagaimana lagi? Mungkin ini sudah takdir!". 
Takdir diibaratkan sebuah alasan terakhir dalam suatu permasalahan yang sedang kita hadapi. Setelah kita berencana dan berusaha sesempurna mungkin kemudian menemui hasil yang jauh dari harapan maka kata-kata sakti tadi akan menjadi ending dari cerita. 
Aku hanya bisa tersenyum simpul. Ternyata manusia itu nggak ada apa-apanya ya? 
Kejadian ini mengingatkanku pada peristiwa 10 tahun yang lalu ketika aku masih mengambil perkuliahan profesi apoteker. 

Mau tahu ceritanya kan? Hayuu... 

Suatu kali, dosen pengajar mata kuliah KIE ( Komunikasi, Informasi dan Edukasi) Farmasi memberikan pilihan kepada kami selaku mahasiswa dalam pengambilan nilai ujian KIE. Bagi yang ingin ujian tertulis silahkan dan bagi yang memilih presentasi tentang materi KIE yang nanti akan ditugaskan oleh beliau juga dipersilahkan. Nah, nilai untuk presentasi akan diberikan point tambahan jika kita benar-benar menguasai materi dan bagus dalam penyampaiannya. Menurut kamu, aku pilih yang mana? Hmm... aku pilih yang setia aja dech...#eeaa. Mulai "Gafok" alias gagal fokus. 

Singkat cerita aku memilih presentasi. Selain karena menantang dan seru, aku juga ingin mendapatkan sensasi yang berbeda daripada sebuah ujian biasa. Beginilah aku, kadang suka kepedean. Tapi aku sudah bisa mengukur dan merencanakan dengan sempurna. Aku cari referensi selengkap-lengkapnya, aku buat power point semenarik mungkin, aku buat alur presentasi yang ciamik dan interaktif, bersama temanku, kami berbagi tugas tentunya. Tapi akulah yang paling proaktif untuk menjalankan semua rencana hebat tadi. Dibantu oleh suami yang jago IT pula, ah sempurna...! Aku berlatih setiap hari, membaca makalah tebal yang sudah kami susun berdua dan belajar menjawab pertanyaan yang mungkin digulirkan oleh teman-temanku nanti.

Ternyata apa yang terjadi saudara-saudara? 
Tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Setelah satu tim selesai presentasi yang menurutku biasa-biasa saja, tim kami mendapat giliran berikutnya. Temanku yang pertama tampil membawakan pengantar materi dan sedikit tentang materi inti. Kenapa? karena temanku ini pemalu dan nggak pedean. Dia minta jatah hanya sebentar dan sedikit saja. Yasudah tak apalah, toh nanti kalau bisa saling melengkapi jatuhnya bagus juga. Aku merasa siap dengan amanah ini. 

Saat temanku presentasi semua orang memperhatikan dengan baik dan penasaran. Alhamdulillaah, opening berjalan lancar. Giliranku nanti akan aku buat lebih mempesona dan audiens akan berdecak kagum. Materi kami waktu itu tentang "Pusat Informasi Obat" atau dikenal dengan istilah PIO. 

"Baiklah materi berikutnya akan dibawakan oleh teman saya... " Begitu closing dari temanku. 
"Ok, teman-teman mari kita lihat PIO yang sudah berdiri di Indonesia, Asia dan juga Eropa berikut ini.."
Semua mata tertuju padaku, hening dan ekspresi mereka penuh dengan rasa ingin tahu ibarat anak bayi berumur 6 bulan yang sedang menatap mainan gantung yang berputar dengan aneka bentuk lucu, mengeluarkan bunyi unik dan kerlip lampu warna-warni. kebayang kan matanya yang memandang jeli dan tak berkedip, tangannya yang meronta-ronta ingin menyentuh dan kaki mungilnya yang bergerak tak bisa diam. Lucu... jadi pengen punya bayi lagi #Ehh.

Yess!!! Aku berhasil menghipnotis mereka. 
Tapi apa yang terjadi?? Baru saja aku mau memulai presentasi dan slide sudah siap tampil, tiba-tiba..... Jrepp!!! Seketika lampu mati dan slideku hilang tanpa pamit.
Hancur sudah. Rencanaku selama 2 minggu itu tak berdaya dengan satu takdir yaitu mati listrik.

Kecewa?? Banget...
Ini sudah takdir.  

Aku sedih. Kecewa. Lelah yang sia-sia. Astaghfirullaah.

Itulah takdir Allah. Bukan "Mungkin ini sudah takdir" tapi memang inilah takdir. Jangan pakai kata "mungkin". Seolah kita meragukan arti dari ketetapan Allah dan seolah kita kecewa dengannya sampai berujar "Mau bagaimana lagi?". Ah, manusia terkadang perkataannya pun menyakiti Sang Pencipta.

Jika diibaratkan takdir adalah makanan yang sedang kita masak, ketika hampir matang, apa yang biasa kita lakukan? Mencicipinya, bukan? Kenapa kita tidak langsung menghidangkannya di meja makan? Karena kuatir nanti yang makan menjadi salah kaprah. Mau bilang enak tapi sebenarnya tidak. Mau tidak makan, nanti menyinggung yang masak. Jadi sebelum dihidangkan, kita harus "mencicipinya" agar kita tahu seperti apa rasanya. Jika kurang enak, maka tambahkan saja bumbunya. Kalau kurang asin tambahkan garam, kalau kemanisan tambahkan air, kalau kurang sedap tambahkan kaldu. Selesai!

Kurang lebih seperti itulah takdir jika diibaratkan masakan yang sedang kita olah.

Akhirnya aku ambil "bumbu" takdirku.
Aku tambahkan garam kehidupan agar aku paham tentang pentingnya ketawadhuan.
Aku tambahkan air ketakwaan agar aku paham arti tawakkal dalam setiap kesempurnaan ikhtiar.
Aku tambahkan kaldu iman agar aku memahami bahwa baik dan buruk suatu kejadian jawabannya hanya syukur dan sabar.

Aku tersenyum puas laksana seorang Chef kepala yang melihat respon positif dari pelanggan yang menikmati menu baru dan resep baru yang baru saja dibuatnya. Great!!!

Demikianlah ceritaku ini, semoga berkenan dan sebelum berakhir kita simak yuuk hadits berikut ini : 

”Sesungguhnya seseorang itu diciptakan dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, 40 hari menjadi segumpal darah, 40 hari menjadi segumpal daging, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh ke dalamnya dan menuliskan empat ketentuan, yaitu tentang rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya, dan (jalan hidupnya) sengsara atau bahagia.” (HR.Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud).

Kita boleh mencicipi takdir. Tapi ingat, jangan lupa tambahkan bumbunya. Biar seddeepp....

11 comments: