Aku ingin sekali melepaskan genggaman tangannya. Malu.
Semua mata yang melihat kami berjalan berdua dengan bergandengan tangan mulai dari halte bis kuning stasiun UI seolah memutar memori mereka akan peristiwa manis dua orang manusia. Tak jarang kutundukkan kepalaku dan asyik menatap jalanan aspal yang sudah tak mulus lagi itu. Beberapa tambalan aspal yang rusak ditutupi kerikil dan batu-batu kecil untuk mencegah legokan tajam yang membahayakan. Sedangkan lelaki berhidung bangir di sebelahku tetap fokus memastikan posisi kami aman dari hilir mudik sepeda motor mahasiswa dan ojek pengkolan.
Jalanan yang kami lewati luasnya sekitar dua mobil Avanza bahkan lebih, banyak mahasiswa yang berjalan kaki menyusuri jalanan yang tak lepas dari debu dan asap knalpot sepeda motor itu. Di sebelah kanan-kiri jalan banyak warung yang menjajakan makanan dengan harga ramah. Maklum, area kost-kostan mahasiswa UI dan Gunadarma bercampur disini. Warteg, kedai, warung nasi, warkop dan tenda-tenda makanan berjejer rapi. Tak salah ketika aku memutuskan untuk mengambil rumah kontrakan disini. "Kober" namanya, berada di samping Jalan Margonda Raya. Entah apa arti dari nama daerah yang kutinggali saat ini, aku tak pernah penasaran. Yang penting lokasinya dekat dengan kampus dan fasilitas lengkap. Selain tak sulit mencari makanan aku juga mudah mendapatkan tempat fotokopi, warnet dan wartel.
Semua mata yang melihat kami berjalan berdua dengan bergandengan tangan mulai dari halte bis kuning stasiun UI seolah memutar memori mereka akan peristiwa manis dua orang manusia. Tak jarang kutundukkan kepalaku dan asyik menatap jalanan aspal yang sudah tak mulus lagi itu. Beberapa tambalan aspal yang rusak ditutupi kerikil dan batu-batu kecil untuk mencegah legokan tajam yang membahayakan. Sedangkan lelaki berhidung bangir di sebelahku tetap fokus memastikan posisi kami aman dari hilir mudik sepeda motor mahasiswa dan ojek pengkolan.
Jalanan yang kami lewati luasnya sekitar dua mobil Avanza bahkan lebih, banyak mahasiswa yang berjalan kaki menyusuri jalanan yang tak lepas dari debu dan asap knalpot sepeda motor itu. Di sebelah kanan-kiri jalan banyak warung yang menjajakan makanan dengan harga ramah. Maklum, area kost-kostan mahasiswa UI dan Gunadarma bercampur disini. Warteg, kedai, warung nasi, warkop dan tenda-tenda makanan berjejer rapi. Tak salah ketika aku memutuskan untuk mengambil rumah kontrakan disini. "Kober" namanya, berada di samping Jalan Margonda Raya. Entah apa arti dari nama daerah yang kutinggali saat ini, aku tak pernah penasaran. Yang penting lokasinya dekat dengan kampus dan fasilitas lengkap. Selain tak sulit mencari makanan aku juga mudah mendapatkan tempat fotokopi, warnet dan wartel.
Genggamannya semakin kuat. Keringat yang membasahi tanganku saat inipun sama sekali tak berpengaruh. Tangannya semakin kuat mengunciku ibarat borgol besi yang dipasangkan pada tangkapan polisi. Memangnya aku ini DPO apa ya? Gumamku dalam hati. Satu hal yang tidak aku mengerti pada laki-laki yang meminjamkanku uang sepuluh ribu untuk ongkos pulang gara-gara dompetku kecopetan waktu ospek SMA dulu.
Langkahku terhenti pada satu kedai makan yang bertuliskan "Ayam Bakar Citra". Kedai ayam bakar yang pernah aku lalui saat mampir di tempat kostan teman aktivis SALAM UI enam bulan yang lalu. Bangunan unik dengan luas sekitar 50 meter persegi, pada awalnya adalah sebuah rumah yang disulap menjadi kedai makan. Nuansa betawi yang dipadu dengan interior kontemporer khas anak muda, lampu-lampu gantung warna warni terbuat dari anyaman rotan yang dicat begitu rupa menghiasi setiap meja, membuatnya terlihat mencolok diantara warung makan yang lainnya. Ditambah cat warna hijau toska yang mendominasi dinding kedai itu membuat aku terpesona.
Langkahku terhenti pada satu kedai makan yang bertuliskan "Ayam Bakar Citra". Kedai ayam bakar yang pernah aku lalui saat mampir di tempat kostan teman aktivis SALAM UI enam bulan yang lalu. Bangunan unik dengan luas sekitar 50 meter persegi, pada awalnya adalah sebuah rumah yang disulap menjadi kedai makan. Nuansa betawi yang dipadu dengan interior kontemporer khas anak muda, lampu-lampu gantung warna warni terbuat dari anyaman rotan yang dicat begitu rupa menghiasi setiap meja, membuatnya terlihat mencolok diantara warung makan yang lainnya. Ditambah cat warna hijau toska yang mendominasi dinding kedai itu membuat aku terpesona.
"Kok berhenti, Neng? Ada apa?" Tatapan matanya mengarah padaku yang khusyuk memandangi kedai itu. "Hey, kok melamun? Lapar?" Digerakkan tangannya saat dia bertanya padaku.
"Kang, Neng mau makan ayam bakar itu, boleh nggak?" Pintaku malu. Mataku memandang manja mata elang yang gagah itu. Aku berikan senyuman termanis dengan binar mata coklatku yang selalu membuatnya jatuh cinta.
"Ya ampuun, mau ayam bakar aja kok pake melamun sih,Neng? Ya bolehlah... mau sekarang? Masih jam sepuluh pagi, belum saatnya makan siang atuh" Jawabannya membuatku bahagia setidaknya permintaanku dikabulkan.
"Ih, Akang mah begitu, kan sebentar lagi juga jam makan siang, kita duluan aja duduk di sana, nanti mah penuh, Kang, banyak yang beli. Bisa-bisa kita nggak kebagian tempat. Kita ngobrol dulu lanjutin cerita yang kemarin" Tanganku menuntunnya untuk segera menyebrang ke arah kedai yang aku impikan itu. Dia pasrah dan menurutiku.
Aroma lezatnya ayam bakar sudah bisa kucium sejak memasuki kedai yang asri dan hangat itu. Wangi kapulaga dan kayu manis begitu khas di hidungku ini. Segera aku memilih tempat duduk paling pojok yang diperuntukkan untuk dua orang. Pas! Aku dan lelaki gantengku bisa asyik makan berdua tanpa ada gangguan mata ataupun obrolan bising para pengunjung yang datang nanti. Hari ini penting sekali, ada cerita yang ingin aku sampaikan padanya. Cerita tentang pamanku yang dikira penjahat oleh Pak Darwis saat pertama kali bertemu di Malaysia dan cerita tentang telpon dari Alif yang merubah garis takdirku. Rencana ta'aruf dengan Bang Alif berganti pinangan dari lelaki lain yang tiba-tiba datang tanpa aba-aba di sebuah cafe bersama keluarga Almira dan pamanku. Lelaki yang berperan sebagai ksatria dalam cerita hidupku yang laksana telenovela atau kisah romansa zaman Majapahit. Kini, ksatria itu berada tepat di sampingku.
"Ayo, Kang! Sebelah sini duduknya... " Aku menarik tangannya saat dia tengah serius menyusuri setiap sudut kedai ini. Seolah ingin memastikan sesuatu.
"Akang kenapa sih? Malah lihat-lihat nggak jelas" Tanyaku kesal.
"Enggak Neng, Akang cuma ingin memastikan kalau kedai ini sudah buka. Soalnya tulisan gantung di pintu tadi masih belum dibalik" Jawabnya pelan, setengah berbisik padaku.
"Jadi, masih tutup ya Kang? Haduh" Aku berdiri dari tempat dudukku dan mendekati Si Akang. Mataku ikut clingak-clinguk memandangi sekeliling kedai. Iya betul juga, tidak ada orang bahkan sang pemilik kedaipun tak nampak batang hidungnya. Hanya aroma ayam bakar yang sedang diungkep bumbu yang berasal dari dalam ruangan kedai tercium semakin tajam. Sepertinya mereka masih sibuk menyiapkan penganan yang akan dijajakan mulai jam setengah dua belas nanti.
"Lain kali lihat dulu atuh Neng, jangan asal nyelonong... main tarik-tarik tangan Akang aja." Dia menarik tanganku menuju keluar kedai dengan sangat hati-hati.
"Punten atuh, Kang. Saking semangatnya..." Aku menunduk malu. Pipiku mulai memerah.
Setelah berhasil keluar dari kedai itu, Si Akang tertawa lepas. Tiga kali cubitanku mendarat di pinggangnya tidak mampu menghentikan tawanya itu. Ih, terlalu deh!
"Akaangg... !! Udah atuh, jangan ketawa terus! Kucubit lengan kekarnya dengan sekuat tenaga.
"Iya..iya.. maaf, Akang cuma geli melihat muka Neng tadi. Ini impian Neng yang keberapa lagi sih?Mau makan ayam bakar aja sampai segitunya..." Sambil berjalan pelan menuju rumah kontrakan kami, Si Akang masih melanjutkan pertanyaannya. Aku berusaha melepaskan genggaman tangannya. Tapi tetap tidak berhasil.
"Udah, Kang, jangan dibahas!" Aku cemberut.
"Kalau cemberut, Neng malah tambah menggemaskan deh! Nanti kalau Akang bilang nggak usah kuliah, bagaimana? Bahaya kan?" Candaan genit mulai keluar dari mulutnya.
Aku segera tersenyum walau agak terpaksa. Bagaimana tidak, kuliahku jam satu siang nanti dosennya killer. Kalau tidak hadir untuk yang kedua kalinya, aku bisa diskorsing tidak boleh ikut ujian. Si Akang tertawa lagi. Bukannya empati! Huft!
"Akaaang... jam satu kuliah Pak Warto, Kimia Organik 3, Neng nggak mau bolos lagi!"
"Lha, sekarang pilih mana? Patuh sama suami atau sama dosen? Salah siapa nikah sambil kuliah!" Dia berusaha menggoyahkan keyakinanku, masih dengan tawa renyahnya. Kutatap wajahnya yang tampak semakin manis dengan deretan giginya yang putih dan rapi.
"Akaang....!" Aku cubit lagi tangannya sekuat tenagaku. Kali ini berhasil membuatnya meringis dan melepaskan genggamannya. Sepertinya kuku tanganku sedikit melukai kulit lengannya. Perih!
Aku berlari menuju rumah kontrakan kecil kami sedangkan lelaki tadi tetap berjalan santai sambil sesekali memandangi lengannya yang memerah. Sesampainya di rumah, aku kunci dari dalam.
Aku berlari menuju rumah kontrakan kecil kami sedangkan lelaki tadi tetap berjalan santai sambil sesekali memandangi lengannya yang memerah. Sesampainya di rumah, aku kunci dari dalam.
"Neng..! Buka pintunya..." Pintanya setelah sampai di depan rumah kontrakan kami yang terkunci.
"Akang boleh masuk tapi dengan satu syarat, Neng boleh kuliah dan makan ayam bakar di kedai Citra!"
"Lah.. itu mah dua syarat bukan satu" Jawabnya singkat. Matanya mengintipku dari jendela kaca nako yang masih terbuka.
"Yaudah kalau gitu, Neng pilih kuliah aja Kang, ayam bakarnya nggak usah!"
"Dosa lho, suaminya nggak boleh masuk. Malu dilihat tetangga..." Si Akang mulai tidak nyaman. Suaranya mulai pelan tapi penuh penekanan. Bukan saat yang tepat untuk bercanda. Pangeran itu sudah teramat lelah sepertinya.
Dengan keputusan yang belum disepakati, akhirnya aku membuka pintu.
Tak lama Si Akang masuk setelah melepas kedua sepatunya dan menaruhnya di rak sepatu plastik berwarna abu-abu yang aku letakkan di depan teras. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku memberi kode pada suamiku itu untuk menjawab telpon terlebih dahulu. Anggukannya menandakan dia setuju.
"Apa? Diganti besok? Jadi nanti nggak ada kuliah?" Lucy menelponku setelah tahu jadwal kuliah Pak Warto diganti besok karena beliau harus menghadiri rapat mendadak di rektorat terkait rencana perubahan jurusan Farmasi menjadi Fakultas Farmasi, terpisah dari Fakultas MIPA.
"Akang...! Neng pilih makan ayam bakar aja deh! Jam setengah dua belas kita kesana lagi ya Kang!"
Aku berteriak dari ruang tamu yang tak jauh dari kamar dan dapur kami. Maklum, kontrakan tiga petak ukuran 30 meter persegi, membuat komunikasi dan mobilisasi kami menjadi lebih cepat. Saking sempitnya.
Tak ada jawaban.
Kutengok ruang sebelah... dan...oalaahh...lelaki ganteng tadi ternyata sudah terlelap. Kamar kecil dengan hembusan kipas angin yang diarahkan ke dinding kamar itu membuatnya nyaman, senyaman AC merek No.1 di Indonesia. Aku tersenyum. Suamiku sangat membumi.
"Tuuh...kaaaan.... begini deh kalau habis lembur di kantor. Katanya kangen..." Bisikku dalam hati.
Kupandangi wajahnya dengan lembut. Aku semakin jatuh cinta.
Dia yang sudah menepati janjinya.
Dia yang tak pernah melepaskan genggaman tangannya saat kami berjalan berdua.
Dia yang selalu sabar mendengarkan cerita demi cerita, impian demi impianku, satu per satu.
Kubiarkan dia terlelap. Segera aku berjalan menuju ruang depan dan mendekati rak buku yang terbuat dari anyaman bambu berwarna kuning muda dengan empat tingkat seharga tiga puluh lima ribu rupiah itu. Murah sekali ya. Aku membelinya dari abang-abang yang lewat di depan rumah kami seminggu yang lalu.
Kubuka buku harian berwarna coklat yang sudah sedikit lusuh. Buku yang menemaniku dari semester satu hingga saat ini menginjak semester enam. Disana aku tuliskan semua keinginan dan harapanku. Apapun itu. Kusisir perlahan halaman demi halaman. Sampailah pada catatan yang aku cari. Dengan penuh syukur tak terperi dan setengah tidak percaya aku memberi ceklist dengan ballpoint berwarna merah pada :
Impian No. 27 : "Makan ayam bakar Citra berdua dengan Kang Giwa"
Jangan main-main dengan mimpi ya, nanti kesampaian!
Jangan main-main dengan mimpi ya, nanti kesampaian!
MasyaAllahh.. so sweetnya bun. Duhh baper tingkat dewa iput. YaAllah *tutupmuka
ReplyDeleteIya iput... skrg sdh mulai episode pengantin baru ya...
DeleteKang giwa....lope lope..
ReplyDeleteDitunggu....
Maaf ya terlalu lama... tapi semoga bisa mengobati rindu...
Deleteahhh.... siap2 baper nih bacanya 😍😍
ReplyDeleteSemoga neng Cian kelak suaminya selalu mau memegang erat tangannya ya...
DeleteEh, kok aku ketinggalan seri yang menikah yaaa
ReplyDeleteNanti diflashback mba... hehe
DeleteMak nyeessss *meleleh* ���� lagi lagi lagiiiiiiii����
ReplyDeleteIcha...aduh bayangin gaya kamu jadi pengen ketawa emak nich... hehehe
Delete