Wednesday, May 18, 2016

Kang Giwa (10) : "Perempuan itu..."



"Apa, Kang?" Mataku menatap tajam lelaki tampan di depanku ini. Lelaki dengan tinggi 170 cm dan berbadan tegap, kulitnya sedikit lebih gelap dariku, entah karena sering terpapar matahari sewaktu pendidikannya di STPDN atau mungkin karena pekerjaannya sebagai camat di derah pelosok dekat pantai yang cuacanya panas. Yang jelas, di keluarga kami tidak ada yang berkulit hitam.

"Tenang Giwa, kita bicarakan baik-baik nanti sama Abah... Akang juga tahunya dari orang lain" Jawab Kang Ridwan berusaha mengendalikan emosiku.

Aku tak memperdulikan kata-kata Kang Ridwan.
Apa-apaan ini?
Apa lagi kata yang pantas untuk Abah sekarang ini selain : KEJAM!

"Dimana Abah?" Aku berdiri dan dengan cepat menuju ke luar kamar. Kang Ridwan menarik lenganku kuat-kuat tapi luapan emosiku menyihir aku menjadi Rahwana. Aku hempaskan tangan Kang Ridwan dan mempercepat langkahku.

"Giwaa... jangan sekarang!" Kakakku mengikuti kemana aku berjalan sambil terus berusaha meraih tanganku. Tapi tetap tidak berhasil.

Kutemukan Abah di ruang makan sedang menikmati secangkir kopi yang dihidangkan Teh Maya, isteri Kang Ridwan. Kulihat ada Arga di sampingnya. Bocah lucu berusia 5 tahun yang menggemaskan, cucu kesayangan Abah dan Ambu. Kehadiran Arga sedikit melemahkan amarahku.

"Bah, Giwa mau bicara, bisa kita keluar sebentar?" Kutahan emosiku.

"Di sini saja Giwa, nih ada Arga lagi ngobrol sama Abah tentang sekolah TKnya, dia jadi juara kelas katanya..." Jawab Abah mengalihkan perhatianku. Matanya menuntunku untuk menoleh ke arah Arga.

"Bah, ini penting!" Aku mulai tidak sabar.

"Oh, penting banget?" Mata Abah memandangku heran. Tak lama dia berusaha mengerti dan menyadari bahwa kehadiran Arga saat ini tidaklah tepat. Dia mengelus kepala Arga sambil berujar,
"Arga, Abah sama pamanmu mau ngobrol sebentar, nanti kita lanjut lagi ya" Pinta Abah kepada cucu kesayangannya itu. Kang Ridwan yang sudah berada tepat di belakangku buru-buru mengalihkan pembicaraan,

"Giwa! Bukankah kamu mau buru-buru berangkat, ayo Akang antar kamu sampai terminal.."  

Arga bingung. Dipandanginya kami satu per satu. Kang Ridwan menyadari posisi Arga yang tidak pas untuk situasi saat ini langsung menyuruh Arga menemui bundanya. Arga pasrah menuruti perintah ayahnya itu. Langkah bocah gendut itu terlihat lucu sekali, dengan sedikit berlari ia menuju bundanya, Teh Maya, yang  saat itu sedang berada di kamar Ambu untuk menemani dan memastikan Ambu mau memasukkan sedikit makanan ke perutnya.

"Abah kejam!" Aku masih berdiri dan tak bisa kutahan lagi perasaan marah ini. Suaraku meninggi.

"Inikah yang Abah impikan?" Suaraku tambah meninggi.

"Bicara apa kamu, Giwa?" Abah terlihat marah.

"Bicara sebagai seorang ksatria, Bah! Jangan jadi pengecut! Jangan pura-pura! Sekarang Giwa tahu kenapa Ambu bisa serapuh ini. Abah tega! Tinggalkan Ambu... kami sudah tahu apa yang Abah lakukan!" Emosiku meluap-luap ibarat lava yang sudah tak sabar menjadi lahar. Keluar membuncah menghancurkan tebing yang mengungkungnya selama ini.

"Giwa! Lancang kamu !"  Abah membentakku.

"Lancang? Lalu yang Abah lakukan pada Ambu itu apa namanya?" Tak sadar tanganku sudah merenggut kerah baju koko yang dikenakan Abah, hampir saja kepalan tanganku mendarat di wajah Abah jika Kang Ridwan tidak meleraiku saat itu.

"Giwa... istighfar...!" Kang Ridwan berhasil menarik tubuhku.

"Kamu tidak mengerti posisi Abah.." Sambil memegangi leher dan merapikan kerah bajunya, Abah menjawab datar.

"Apa rencana Abah setelah semua sudah hancur begini? Lihat Ambu yang sampai sakit kejiwaannya... ini lebih dari kejam, Bah!" Suaraku mulai melemah. Kang Ridwan yang duduk di sebelahku memegangi pundak dan berusaha menenangkanku.

"Kenapa harus perempuan itu?" Air mataku mulai menetes, Perih. Teringat kondisi Ambu. Perempuan mana yang mau dimadu? Di usia yang sudah tidak muda lagi malah?

Perempuan yang Abah nikahi itu...
Adalah seorang janda beranak satu yang dulu berjualan di kantin sekolah yang Abah pimpin. Wajahnya cantik. Usianya sekitar 35 tahunan. Badannya yang langsing dan tinggi semampai, wajarlah banyak lelaki terpikat olehnya. Hanya saja dari dulu tidak ada satupun yang mampu meluluhkan hati janda beranak satu itu. Entah kenapa.

Mamat yang bersekolah di sana sangat tahu persis tentang perempuan ini. Dia dengan warung makannya yang selalu ramai dikunjungi murid dan juga guru-guru. Selain masakannya enak harganya juga murah. Dia yang sangat ramah melayani pelanggan namun santun dan tidak tebar pesona. Tidak seperti janda genit yang ada di pikiran orang kebanyakan. Dia berbeda. Siapapun pasti terpikat dengan kebaikannya.

Mamat juga tahu tentang Abah yang sesekali mampir bertandang ke kantin untuk membeli lauk atau sayur, padahal menu bekal makan siang sudah sangat lengkap Ambu siapkan setiap harinya. Saat pelajaran sudah dimulai dan kantin sudah sepi, Abah terlihat sesekali mampir ke sana.  Mamat melihat kebiasaan Abah yang menurutnya agak tidak biasa. Memang tidak sering. Mungkin bisa dihitung dengan jari. Mamat pernah menceritakan hal ini kepadaku dan Kang Ridwan. Dulu kami pernah mengingatkan Abah agar hati-hati dengan perempuan itu, tapi Abah tidak pernah menganggap serius. Abah hanya tertawa dan mengatakan,

"Ambu adalah satu-satunya wanita di hati Abah. Masakan Ambu juga yang paling enak sedunia. Kalian jangan takut. Pantang bagi seorang ksatria untuk mengkhianati janji sucinya apalagi terhadap wanita"

Kami percaya saja waktu itu dengan kata-kata Abah.

Abah tidak pernah macam-macam. Sampai setelah 5 tahun berlalu, barulah kabar ini sontak membuatku kaget setengah mati.



(Bersambung)


6 comments:

  1. Yah..itu namanya apa yaa? Ujian atau teguran.

    Abah diuji dengan kata2nya sendiri. Di hati A tp dimulut B.

    ReplyDelete
  2. Yah..itu namanya apa yaa? Ujian atau teguran.

    Abah diuji dengan kata2nya sendiri. Di hati A tp dimulut B.

    ReplyDelete
  3. Apa yang sedang terjadi dengan abah?

    ReplyDelete
  4. Apa yang sedang terjadi dengan abah?

    ReplyDelete
  5. Begitukah abah. Wah masih panjang in ceritanya

    ReplyDelete