Masih ingat dengan cerita Si Aya?
Ya! Aya Dinata Kusuma. Calon dokter. Di tulisanku sebelumnya yang berjudul "Tampah yang Tertumpah". Kini aku ingin melanjutkan cerita Si Aya yang kini sudah duduk di bangku SMA.
Bismillaah.
Tulisan ini adalah tulisan dalam rangka menjawab tantangan dari Bang Syaiha founder ODOP tentang "Menulis sekali duduk". Okeyy Bang... yuk marreee....
Tak pernah aku sangka.
Aku punya rumah kedua.
"Aya... kamu mau ikut ekskul filateli nggak? Hari ini kita ketemu sama kakak pembinanya.." Ajak Ira teman sekelasku.
"Aduuh Ir, aku sebenarnya mau banget. Tapi aku hari ini nggak bisa.. aku harus segera pulang." Jawabku singkat.
"Yaah sayang doong. Apa mau aku daftarkan saja nama kamu Ay.." Ira memberi solusi.
"Boleh" Jawabku mengakhiri.
Tak ingin ada pertanyaan lagi dari Ira, sengaja aku tidak memperpanjang jawabanku.
RUMAH SAKIT ASY-SYIFAA
"Assalamu'alaikum Mak.." Aku menyapa orang yang paling kucinta di dunia.
"Wa'alaikumussalam Neng... udah pulang sekolahnya?" Jawab Emak.
"Aku yang pulang Mak... bukan sekolahnya yang pulang... coba ulangi Mak... Hehehe" Aku mencoba membuat Emak tersenyum.
Dan benar saja, Emak langsung tersenyum simpul. Di tengah sakit yang dideritanya kini. Dia hanya terbaring tak berdaya. Dokter memvonis Emak menderita kanker paru-paru. Tubuhnya kini tinggal tulang dibalut kulit. Aku tak bisa menahan kesedihanku tiap kali menatap wajahnya yang terlihat 10 tahun lebih tua dari usianya. Bertambah pilu ketika orang-orang yang tidak sengaja melihat Emakku menyangka bahwa aku adalah cucunya. Emak... sabar yaa... Aya sayang sama Emak.
Aku lalu menuju ruang perawat atau Nurse Station.
"Maaf Suster... Saya mau tanya. Apakah obat atas nama Ny.Liani sudah diberikan semua?" Tanyaku kepada salah satu suster di sana.
"Oh kamu Ay... sudah...sudah.. tenang aja. Eh, gimana tadi di sekolah, lancar?" Jawab suster cantik itu seolah sudah mengenalku secara pribadi. Ah, pasti ulah Emak nich! Emak suka bercerita apa saja tentang keluarga kami kepada semua orang termasuk suster cantik tadi. Suster yang bernama Asih.
"Alhamdulillah lancar, Suster. Terimakasih ya atas bantuannya. Emak sudah merepotkan Suster." Jawabku berterimakasih.
"Enggak merepotkan lah Ay... Saya ikhlas kok. Apalagi Emak kamu nggak ada yang nungguin selain kamu, kan?" Suster Asih memberikan argumentasinya.
"Iya Suster... sekali lagi makasiiih banget.." Aku memberikan senyuman terindahku kepadanya.
"Neng... Emak haus!" Kata Emak menghentikan mataku yang sedari tadi terfokus pada Buku Geografi.
"Oh iya Mak... sebentar Neng ambilkan air" Kataku segera.
"Makasih ya Neng... Eh, kamu tadi lagi baca Buku ya? Ada ulangan besok?" Tanya Emak.
"Biasa Mak... ulangan harian. Besok Ulangan Geografi" Jawabku sambil tersenyum.
Tapi sayang, Emak tidak akan pernah bisa melihat senyumku. Hanya isyarat mata saja yang bisa ditangkapnya. Kenapa? Karena aku harus selalu mengenakan masker N95 selama berada di dekat Emak. Masker khusus untuk mencegah penularan bakteri Tuberkulosa. Walau begitu, Emak tetap memahami isyarat mataku. Saat senang, sedih, galau, gamang, ragu... dan sebagainya hanya dengan isyarat mata. Seperti telepati kalau kata Bang Syaiha dalam tulisannya di novel yang berjudul "Sepotong Diam" . Novel perdana yang aku baca dan aku terpesona. Aku juga mengikuti program ODOP yaitu One Day One Post yang diusungnya. Aku sering bercerita kepada Emak tentang hobi baruku ini.
"Neng... Emak sekarang sudah usia berapa ya?" Kata Emak melanjutkan.
"Hmm... baru 40 tahun Mak.. " Jawabku sambil menerawang berhitung usia Emak dari tahun kelahirannya.
"Hehehe.. Emak sudah tua yah... Neng, kalau Emak meninggal nanti.. kamu sama siapa ya?" Mulai lagi pembicaraan tentang kematian. Tema yang paling aku benci.
"Aduuh... Emak jangan ngomong gitu ah... Neng nggak mau belajar nich.." Ancamku.
"Neng... Emak merasa sudah tidak sanggup dengan penyakit ini. Obat yang Emak minum, yang disuntikkan berulang kali... hanya menyisakan sakit yang berkepanjangan. Emak ingin lepas dari derita ini. Juga melepaskanmu dari derita ini... Emak kasihan sama kamu Neng... " Air mata Emak menetes ketika melantunkan kalimat itu.
"Mak... jangan begitu,Mak. Pasti Allah memberikan kesembuhan kepada Emak asalkan Emak juga semangat untuk sembuh.." Aku mulai berkaca-kaca.
"Tadi pas dokter visite, Emak tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka tentang penyakit Emak.." Air mata Emak bertambah deras laksana sungai yang tak sabar mencari muaranya.
Astagfirullaah!!!
Emak akhirnya tahu juga? Tentang statusnya sebagai penderita kanker paru-paru stadium 3 !!!
Emaaakkk.... kenapa harus tahu???
Ya Alloh... berusaha aku menutup-nutupi diagnosa penyakit Emak selama 2 bulan di Rumah Sakit ini tapi semua sandiwaraku gagal total hari ini.
Pasrah.
"Neng... jangan sedih... Emak tetap semangat kok... seperti kamu yang selalu semangat pulang pergi berangkat sekolah dari sini." Kata Emak sambil tersenyum ketir.
"Neng... Emak mau tidur dulu yah. Kamu belajar di taman aja. Kasihan belajar sambil maskeran kayak musuhnya kura-kura ninja begitu... Hehehe" Emak masih bisa bercanda.
Emak terlelap.
Aku duduk di kursi taman sambil memegang Buku Geografi yang sedari tadi mentok di halaman 10 dan nggak balik-balik. Mentok! Seperti pikiranku sekarang tentang kondisi Emak. Aku hanya bisa menagis. Aku tak tahu lagi harus bagaimana. Kata dokter... Emak tinggal menunggu waktu.
Buku Geografiku basah kuyup. Dengan air mataku....
Besok tanggal 2 April. Ulangan Geografi Bab 3 -4. Aku sudah siap mendapat nilai jelek. Karena semua yang aku baca, ambyarrr.... buyar tak karuan...
Eh, sebentar.... besok tanggal 2 April? Itu kan tanggal ulang tahun Emak... Aduuh kok aku bisa lupa yaa... Astaghfirullaah... segera aku ambil senjata perangku... Selembar kertas dan sebuah pena!
Aku senang menulis. Tak heran tulisanku sering dimuat di beberapa koran keluarga. Salah satunya adalah koran "Wanita Indonesia". Dari tulisanku itu aku akhirnya mendapat banyak sahabat pena. Dari Sabang sampai Merauke. Dari Tanah Abang sampai Rawa Bangke... Hihii... Makanya aku tertarik dengan ekskul filateli. Ngumpulin prangko dari para sahabatku... lumayan banyak aku simpan. Termasuk salah satunya dari seorang siswa taruna yang sedang menjalani pendidikan di Jepang.
Aku mulai merangkai kata. Dengan uraian air mata yang berulang kali mengganggu loncatan aksara yang aku kumpulkan.
Emakku Sayang...
Aku ingin mengatakan sesuatu...
Belum selesai aku menuliskan surat cinta untuk Emak, satu teriakan membuat jantungku tak terkendali.
"Ayaa... Ayaa.. cepat kemarii... Ibu kamu...." Teriak Suster Asih.
Secepat kilat aku berlari menuju ruang rawat Melati tempat ibuku berada. Perasaanku tak enak.
"Emak... Emaak... bangun Mak..?" Aku berusaha menyadarkan Emak yang tergolek tak berdaya.
"Ay.. denyut nadi ibumu semakin turun... sebaiknya kamu temani dia terus dan tuntun ibumu melafalkan kalimatullah..." Begitu pinta Suster Asih.
Air mataku semakin deras. Menyusul anak sungai ibuku yang sudah terlebih dahulu berlari menuju muaranya. Apakah ini tanda-tandanya waktu Emak sudah hampir tiba?
Emaaakkk....!!!! jangan tinggalkan Aya.... !!! Aku menjerit dalam hati.
Kucium kening ibuku berulang kali, kuusap wajahnya yang pucat pasi, kurasakan tubuhnya dingin... dingin sekali... kugenggam tangan kanannya yang masih terhubung selang infus. Kulihat bibir Emak yang berusaha mengucapkan sesuatu. Tapi matanya terpejam... tak menghiraukan tangisanku.
"Asyhadu alla ilaaha illaallaah... wa asyhadu anna muhammadarrasuulullaah." Aku menalqinkan kalimah syahadah di telinga Emak.
Tidak ada reaksi apa-apa... Emak sudah tidak bisa merespon apa-apa. Aku terkaget melihat anak sungai yang mengalir di kedua pipi Emak... sambil satu hirupan nafas Emak yang terakhir... aku mendengar ia melafazkan sebuah kata yaitu... "Allaaaaaah..."
Aku mendampingi sakaratul mautmu... kudekap erat ibuku... kutumpahkan semua kesedihanku... kuciumi wajah ibuku... tak perduli dengan masker yang sedari tadi aku lepaskan... aku tak peduli apapun saat ini... apalagi sekedar bakteri...
Aku mendampingi sakaratul mautmu... kudekap erat ibuku... kutumpahkan semua kesedihanku... kuciumi wajah ibuku... tak perduli dengan masker yang sedari tadi aku lepaskan... aku tak peduli apapun saat ini... apalagi sekedar bakteri...
Emaaaak... Innalillaahi wa inna ilaihi rooji'uun....Tangisku semakin perih.
Hari itu adalah hari terakhir kebersamaan kita, Mak... aku yakin Allah menyematkan husnul khatimah... dengan ujian sakit yang sudah kau derita dari 3 tahun yang lalu.
Hari itu adalah hari terakhir kebersamaan kita, Mak... aku yakin Allah menyematkan husnul khatimah... dengan ujian sakit yang sudah kau derita dari 3 tahun yang lalu.
Di pusara Emak... aku melanjutkan satu kalimat yang tertunda dalam selembar surat cintaku.
Mak.. selamat ulang tahun yang ke-41.
Namaku Aya Dinata Kusuma.
Aku merayakan hari bahagia Emak di tempat yang tidak pernah aku kira.
Pernah aku bercerita kepada Emak tentang tantangan menulis di hari ulangtahun pernikahan Bang Syaiha dan Mba Ella Nurhayati. Kata Emak begini..
"Ikutin aja tantangannya Ay... jangan berharap menang. Karena niat yang tulus akan sampai dengan sendirinya... Cinta Bang Syaiha dan Mba Ella teramat indah... kamu nanti kalau menikah harus mencontoh ketulusan Mba Ella yah... wanita cantik yang berakhlak rupawan. Dan semoga juga kamu menemukan jodoh segigih Bang Syaiha... laki-laki brilian dalam keterbatasan yang dimilikinya. Kesungguhannya telah membuka tabir rahmat dan mahabbah Allah... menemukan cinta sejati dalam balutan ketakwaan... "
Indah nian tuturmu Bunda....
Aku berharap siswa taruna itupun seperti Bang Syaiha.
Kuusap lembut pusaramu, Mak.
Doa'ku akan selalu kukirimkan setiap selesai sujudku.. pada-Nya yang teramat indah....
Oke.. Sudah dibaca..
ReplyDeleteTerimakasih Bang... semoga berkenan
DeleteYahhh ceritanya sedih..
ReplyDeleteYahhh ceritanya sedih..
ReplyDeleteIya sedang pengen ngabisin tisu di rumahku mba... hehe
DeleteKyaaa, terhuraa mak Ind...
ReplyDeleteKeknya masih ada lanjutannya tuh...
Tentang siswa taruna yang sedang belajar di Jepang... siapakah itu? Bagaimana bisa berkirim surat dari Jepang ke Jakarta? Nantikan ceritanya tetap di labirintoska... hahayy
DeleteAku mau es krimmm sekarangg... *tisu kan ngga bisa dimakan* hiksss.. dramatis banget, si cowok Jepang harus pulang ke Indonesia buat ngehiburku eh mba Aya maksundya :D
ReplyDeleteOoh gitu ya.. mau juga dong es krimnya... hehe
DeleteAduuuuh...mbak indri pinter banget mengaitkan beberapa momen..cerdas ! Like This, mbak..
ReplyDeleteAlhamdulillaah uni... syukron jazakillaah....
DeleteWedew, keren niaaaan ceritanyaaa. Like this. Berhasil memainkan emosional pembaca.
ReplyDeleteEeeh ada mba Ella... waah idolaku sudah datang nich... jadi malu... maacih sudah mampir...
Deletesedihh buy ceritanya, saya jadi penasaran sama cerita selanjutnya, sama mas tarunanya juga hehe 😄
ReplyDeletesedihh buy ceritanya, saya jadi penasaran sama cerita selanjutnya, sama mas tarunanya juga hehe 😄
ReplyDelete