Saturday, March 12, 2016

" Tampah yang Tertumpah "



" Neng, ini Emak sudah hitungin ya, semua ada 30 ditambah yang di panci ada 10 potong, jadi total..." 
" 40 Mak... dikali lima puluh perak jadi dua ribu rupiah !"
" Anak Emak memang pinter... calon dokter ! "

Calon dokter. 
Namaku Aya Dinata Kusuma.


Tak lama setelah sampai rumah sepulang sekolah, aku harus buru-buru berganti baju. Siap berburu. Demi seratus rupiah!

Panasnya lumayan terik. Ditambah saat itu AC adalah barang yang sangat ningrat untuk dimiliki sebuah keluarga seperti kami. Rasanya ingin sebentar saja aku mandi agar badanku segar sebelum aku berburu. Tapi sayang sabunnya nanti boros, toh nanti sepulang menjalankan tugas negara ini aku berpeluh keringat dan harus mandi lagi. Akhirnya kuputuskan untuk mandi sepulang berburu saja. Kuganti bajuku cepat-cepat, dari merah-putih menjadi biru-biru. Lalu aku makan siang seadanya. Itu juga cepat-cepat. Sebelum Emak memanggil dengan suaranya yang melebihi sirine tanda berbuka puasa. Hehehe...

Untuk anak seusiaku ini sepertinya agak langka. Aku tidak bisa menghunus senjata, tapi sudah ditugaskan bela negara. Jangankan senjata, bambu runcing saja aku tak bisa. Bukan karena tidak mau berusaha tapi karena tubuhku yang kecil mungil ini tidak kuat untuk menopang bambunya. Tapi untunglah hanya sebuah tampah. Ukurannya yang bulat sempurna dan terbuat dari anyaman bambu sedikit lentur dan ukurannya pas, aku pun bisa membawanya sebagai "senjata". Ditambah sebuah panci kecil yang bisa aku tenteng di tangan yang satunya. Mantap. Siaplah aku ke medan perang!

" Gorengaan...! Gorengaaan...! Pak, Bu, ada pisang goreng, bakwan jagung, obi-obi dan juga techi !"

Dua penganan pertama pasti kalian sudah tidak asing, bukan? Tapi yang dua terakhir agak aneh terdengar di telinga. Di daerah Sunda, ada penganan namanya obi-obi yaitu gorengan yang terbuat dari ubi yang dikukus dan ditumbuk halus kemudian di dalamnya diisi dengan gula merah, lalu digoreng. Kemudian techi adalah makanan yang terbuat dari sagu yang dimasak kemudian didinginkan diberi kuah bumbu kacang. Mungkin ini warisan nenek moyang dari negeri sumpit, namanya "Techi" aslinya "Tai-Chi", mungkin lho yaa... abaikan jika analisaku salah, maklumlah anak kelas 2 SD.

Kujajaki jalan di kampungku yang tidak luas itu. Ada "wetan" ada "kulon" atau kalau diartikan, wetan itu timur dan kulon itu barat. Aku tinggal menjajakinya satu per satu dengan kakiku yang mungil ini. Dan senyumku merekah ketika ada yang memanggil, " Neng sini... Saya mau beli!"
Begitulah rutinitasku sepulang sekolah. Membantu ibu berjualan gorengan dan kawan-kawannya. Aku bukan dari keluarga berada, jadi berjualan adalah salah satu cara keluarga kami menyambung nyawa. Kalau bagiku menyambung uang jajan. Karena tanpa misi itu, aku tidak akan diberi uang jajan oleh Emak. Seratus rupiah jika terjual banyak dan tujuh puluh lima perak jika dewi fortuna malas menyapa. Kenapa uang jajan disambung ? Karena aku sekolah dua! Pagi aku di SD dengan uang jajan lima puluh perak tapi rutin diberikan secara cuma-cuma dan siangnya aku sekolah agama di madrasah dengan uang jajan hasil perburuan. Nilainya fluktuatif bergantung indeks saham dan persaingan pasar. Halah, gaya!

Siang itu. Terik semakin mencekik. Haus menagih kerongkonganku untuk dibasahi. Dan aku tidak membawa air minum. Memang biasanya juga begitu. Berkeliling selama 30 menit pikirku tidak akan membuat fatamorgana. Namanya juga pejuang, harus tahan lah! Tapi hari ini berbeda. Do'a sebelum pergi berjuang yang sudah kupanjatkan dengan khusyuk tidak bisa mengiringi dewi fortuna yang biasanya setia. Sudah kujajaki wetan... tapi yang membeli hanya satu dua. 

Aku tetap berjalan. Masuk ke gang-gang kecil. Semoga saja banyak orang yang kelaparan. Hari itu hari jum'at. Bapak-bapak sepulang shalat jum'at pastinya lapar. Secangkir kopi panas atau teh hangat akan merengek minta ditemani. Pastilah penganan di atas tampahku sudah loncat kegirangan. Cuma lima puluh perak saja, Pak! Kakiku mulai lemah. Lumayan daganganku sudah laku 10 potong. Hmm... biasanya aku berhasil menjual 20 potong. Tapi tidak mengapa, kulon belum kujajaki. Berharap banyak yang menungguku di sana. Aku berjalan sekuat tenaga, berlomba dengan terik yang semakin membara. 

" Gorengaan... Gorengaaan.., ada pisang goreng.."
" Hey! kesini..!"
Ada yang memanggil. Banyak lagi. Suaranya bukan dari satu orang. Aku bergegas mendekat.
" Iya... boleh,boleh,,,"
Tapi setelah mendekat, yang kulihat adalah 4 orang anak laki-laki seumuranku. Anak-anak dari sekolah yang lain sepertinya karena aku tidak mengenal mereka. 
" Hey tukang gorengan..! Tadi apa katamu...? Pisang goreng ??? Yaah jualan kok pisang goreng, kami mau beli pisang bagus.... ada nggak? Hahaha...Hahaha...!" 
Jleb! hatiku hancur. Mereka ternyata hanya mempermainkan saja. Dalam bahasa Sunda, "Goreng" itu bisa berarti "Jelek". Kutahan rasa malu dan sedih yang bercampur menjadi satu. Aku lalu pergi menjauhi gerombolan tentara pengecut yang beraninya sama perempuan. Aku berjalan agak cepat agar gelak tawa mereka segera sirna dari pendengaranku. Dan... Bruggg!!!! 

Aku terantuk batu besar!  MasyaAllaah.... daganganku berhamburan!
Ibarat pejuang yang menginjak ranjau lawan. Tamat sudah! Ya Allah, biasanya aku lihai menghindar, kenapa kali ini aku menjadi lalai? Ah, pasti karena olokan. Ya! Olokan yang menghiris hatiku yang perempuan. Kupunguti satu per satu. Dengan gemetar dan takut membayangkan reaksi Emak nanti. Cepat-cepat aku bergerak dengan harapan tidak ada orang yang melihat. Alhamdulillah tidak ada satupun mata yang menyaksikan. Amaan... 

Aku langsung pulang! Kuusap bulir bening yang sedari tadi enggan berhenti. 
Aku ketuk pintu rumahku. 
" Maak...Maak...! "
" Eh, anak Emak udah pulang.... tumben cepet. Pasti laris manis nich "

Tangisku tumpah. Kupeluk ibuku yang hanya bengong melihat daganganku yang bercampur tanah kotor. 
" Maak... Neng jatuh... !"
" Oalah... MasyaAllah.. jatuh dimana? Coba lihat, mana yang luka?"
Segera ibuku memeriksa seluruh badanku yang basah berpeluh keringat dan tanah. 
" Ya ampuun, Neng ! Kakimu berdarah!" 
Aku tidak merasakan apa-apa. Awalnya. Tapi setelah kulihat kakiku, barulah perih terasa sangat bertambah-tambah. Ada luka di lututku. lumayan besar robekannya. Ibuku segera mengambil obat merah dan mengoleskannya di lukaku. Menutupnya dengan plester untuk luka. 
"Sakit?" Tanya lembut terdengar di mulutku.
" Sepuluh Maak..." Jawabku spontan. 
" Apanya yang sepuluh, Neng?" Mungkin emakku berfikir aku sudah mulai tidak sadar karena menahan sakit. Apa harus panggil ambulans ? Mungkin pikirnya begitu. Ah Emak, sebenarnya bukan robekan luka yang membuatku sakit, Mak. Tapi olokan tadi yang merobek relung hatiku yang paling dalam. Sakitnya membuatku berhalusinasi. Andai aku seorang puteri raja. 

" Cuma laku sepuluh Maak...huhuhu.." Kujawab dengan tangis yang semakin keras.
" Cup..cup..cup.. sudah jangan nangis... nggak apa-apa sayang, yang penting kamu masih satu bukan sepuluh. Kalau begitu kan repot Emak ngurusinnya..Hehehe" Dia mulai bercanda. 
Nggak lucu. Candaan Emak terasa hambar dan terdengar sangat tidak lucu. Tangisku malah bertambah keras. 

Setelah beberapa menit akhirnya aku tenang. 
Tangisku berhenti ketika Emak sudah tidak bercanda lagi. Dia serius. Benar-benar tidak bercanda. Setelah sesaat dia lihat tampah dan panciku. Beliau berkata:
"Nak,,, kemarin kamu bercerita. Katamu ada hadits yang baru saja kamu hafal. Bisa kamu ulang?"
Aku melanjutkan tangisku... tapi perlahan...mulai perlahan... Otakku memutar memori kemarin saat aku bercerita kepadanya tentang ilmu yang baru saja kudapat dari sekolah madrasahku. 

" Al Jannatu Tahta Aqdamil Ummahaati" yang artinya "Surga itu ada di bawah telapak kaki ibu" 
Tapi aku hanya menjawabnya dalam hati saja. Dan ibuku melanjutkan ucapannya...

" Surga itu sudah Emak pindahkan sejak lama. Di kakimu, Nak..!Maafkan Emak! Kakimu yang mungil ini harus menderita... sejak Bapakmu tiada "

Giliran Emak yang menangis. Aku yang terdiam.

" Tidak apa-apa, Mak. Yang penting Emakku cuma satu. Kalau sepuluh nanti surganya juga sepuluh di kakiku... aku nggak bisa sekolah karena keberatan... dan kasihan juga nanti anak-anak lain nggak kebagian.." Hehehe..

Tidak mempan. Emakku tetap dalam isakannya.














15 comments:

  1. Duh teh Indri...tulisannya membuat mata basah tapi bibir senyum-senyum baca obrolan dua anak beranak itu.
    Kereen banget teh...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haturnuhun Neng Rifa anu geulis... terimakasih sudah setia mampir di blog teteh...

      Delete
  2. 10 jempol buat mbak indri..kereen...:)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Syukron uni... itu coba2 bikin cerpen.. tapi tetep aja gaya "Hilman"ku kebawa teruss... hehe

      Delete
    2. Syukron uni... itu coba2 bikin cerpen.. tapi tetep aja gaya "Hilman"ku kebawa teruss... hehe

      Delete
  3. menyentuh bu indri ..
    masih ada lanjutannya ga bu indri ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eh ada bu dewi...jadi malu.. lanjutannya pasti ada bu... insyaAlloh ditunggu saja yaa... tiap hari aku posting

      Delete
  4. Sedih , haru, tapi ada lucu juga.. keren mba 👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillaah... jadi tambah semangat jadinya.. terimakasih sudah mampir mba Shofiyah

      Delete
  5. Endingnya kocak.. Nampol ini mah..

    ReplyDelete
  6. Lengkap deh perasaannya, ada sedih dan kocak, serta amanatnya juga dapat...
    Keren mba Indri ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Syukron mba Khikmah... alhamdulillah kalau puas.. silahkan mampir terus di warungku ini yaa... biar bisa menyambung pena... hehe

      Delete
  7. Sedih, sungguh sangat besar pengorbanan seorang "ibu"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul Bu Marli... saya menuliskannya dengan berurai air mata... terimakasih sudah mampir ke warungku ini... ajak temen2 yang lain yaa... hehe

      Delete