Wednesday, August 24, 2016

Kang Giwa (17) : "Hampir Saja"



DI PUSGIWA

Tak biasanya hari itu Alif menunggu seseorang dengan sangat cemas. Pemanasan yang sedari tadi dilakukannya mungkin sudah menjadi "dingin" lagi.
Kemana dia? janjinya jam 4 sore sudah sampai di Pusgiwa (Pusat Kegiatan Mahasiswa) buat aikido bareng.
Alif kemudian duduk selonjoran kaki di lantai aula tempat latihan aikido itu. Dilihatnya kembali jam dinding yang menunjukkan pukul setengah lima sore. Tumben Giwa belum datang juga. Apakah pesawatnya delay? Ah, Giwa tidak memberi kabar apa-apa. Seharusnya tadi pagi sudah sampai dari Malaysia. Ya, mungkin istirahat dan tidur sampai siang, masa nggak cukup juga. Padahal Alif sudah tak sabar ingin menceritakan kisah ta'arufnya kepada Giwa yang rencananya besok akan diadakan pertemuan di Mesjid Raya Palapa "Baitus Salam" yang terletak di daerah Pasar Minggu. Betapa bahagianya Alif dengan proses ta'arufnya kali ini. Hari itu tak luput dari bayangan sesosok gadis mungil nan manis yang tak sengaja ia lihat di sebuah acara seminar kampus. Lamunan Alif mulai menerawang kemana-mana. Tak beraturan. Inikah namanya cinta? Seperti arung jeram. Mengundang adrenalin dalam setiap gelombangnya.

Alif akhirnya menyerah. Diambilnya ponsel di dalam tas gembong berwarna hitam yang selalu setia menemani dia kemana-mana, "Assalamu'alaikum, Wa! Kamu dimana?" tanya Alif.
"Wa'alaikumussalam, Bang! Sorry ketiduran. Tadi pagi aku ke kampus dulu ngurus persiapan wisuda. Trus balik ke kost-an kecapen, tidur sampe jam 4" Jawab Giwa yang sedang berdiri berpegangan pada hanger bis kuning UI. Halte Pusgiwa sudah di depan mata. Buru-buru Giwa turun dari bis kuning UI dan langsung berlari ke arah aula tempat latihan aikidonya bersama Alif.

"Bang...! Assalamu'alaikum!"
Giwa merangkul sahabat dekatnya yang terpaut dua tahun lebih tua dari usia Giwa. Ada kerinduan setelah 8 bulan tidak latihan bersama.
"Giwaa... wa'alaikumussalam... kangen aku,Wa! Kirain nggak dateng. Udah cemas aku tadi. Takut kamu kenapa-napa" Alif memegangi bahu Giwa yang semakin gagah itu.
"Tambah ganteng aja kamu,Wa! Seneng ya di sana?" Alif melihat perubahan pada tubuh Giwa yang semakin gagah. Ada aura berbeda dari Giwa yang dikenalnya dulu. Sekarang lebih dewasa dan matang.
"Alhamdulillaah... di kantor ada tempat fitnes gratis" Jawab Giwa singkat.
"Jadi kita tanding sekarang?"lanjut Giwa tanpa basa-basi.
"Serius? Nggak capek?" Alif menawarkan Giwa untuk beristirahat sejenak.
Giwa hanya tertawa.
Dia segera menuju ruang ganti dan selang 5 menit kemudian dia keluar dengan kostum aikido yang membuatnya bertambah gagah. Hampir mirip dengan kostum Taekwondo. Baju atas-bawah berwarna putih dan longgar diikat dengan tali kain berwarna hitam di tengah-tengah perut.

"Siap?" Kata Alif
"Pastinya..." jawab Giwa dengan kuda-kudanya. Tampaknya Giwa tidak perlu pemanasan lagi. Di kampus teknik kesayangannya itu dia sudah tiga kali naik turun tangga ke lantai 3 dan 4 untuk mengurus administrasi wisuda yang akan dihelatkan dua hari lagi. Keringat di tubuh Giwa sudah cukup mengurungkan niat Alif untuk meminta Giwa melakukan warming up sebelum tanding.

Pertandingan aikido antar dua sahabat itu seru sekali. Beberapa kali gerakan Nage waza dan Kihon waza terlihat berseliweran sangat indah. Sampai pada suatu kuncian, Giwa tersudut. Kesempatan ini Alif gunakan untuk membuka tema pembicaraan, "Wa, aku lagi ta'aruf"sambil tetap mencengkeram Giwa yang kepayahan berusaha melepaskan kuncian Alif.
"Apa? ta'aruf? tumben lanjut" Jawab Giwa sambil meringis.
Alif mulai kehilangan fokus karena jawaban Giwa yang dianggapnya sedikit tak percaya. Giwa cerdas. Kuncian Alif melemah dan balik Giwa yang melakukan Jujutsu...
"Aduh! Masih oke aja gerakanmu, Wa!"
"Iyalah. Aku kan latihan aikido juga di Malaysia."
"Udahan dulu yuk Wa. Aku mau cerita" Alif tak ingin melanjutkan tanding aikidonya kali ini karena waktu sudah hampir mendekati maghrib.
"Okelah.." jawab Giwa sambil melepaskan kunciannya.

Setelah keduanya menyelesaikan sesi pendinginan, obrolan asyik pun dimulai.
"Kita ke mesjid UI, yuk! Aku pengen ngobrol" Kata Alif sambil merapikan baju aikido ke dalam tas selepas dari ruang ganti. Giwa juga sama.
"Oke, aku juga mau cerita" tak ingin kalah dengan Alif yang tak sabar untuk berbagi kisah tentang ta'arufnya.
Alif tertawa. "Ah, paling juga cerita Petronas. Aku sih udah bisa nebak betapa serunya kamu di sana dan pastinya seorang Giwana melewati semua tantangan tanpa kesulitan. Selamat ya, Wa!" lanjut Alif.
"Siapa bilang mau cerita kerjaan? Aku mau cerita ta'aruf jugalah kayak kamu" sambil memasangkan helm di kepalanya, hendak siap-siap menuju mesjid UI dengan sepeda motor milik Alif. Sebagai hukuman telat datang, Giwa harus menebusnya dengan menjadi "tukang ojek" untuk Alif.

Alif hanya tertawa dan menepuk bahu Giwa dengan keras, "Bisa aja kamu Wa, nggak mau kalah sama aku"
Dan tak lama setelah itu keduanya melaju dengan Suzuki Satria merah nan gagah  menuju Mesjid UI.

Tak sampai 15 menit mereka sudah sampai di Mesjid yang berada di sebelah danau itu. Pemandangan yang sangat indah. Seindah perasaan dua sahabat yang baru saja bertemu kembali setelah sekian lama terpisah. Dalam kelelahan sehabis tanding aikido, pilihan tepat saat ini adalah menikmati segelas coffee mix panas dengan pisang goreng krispi a la Mba Minah yang masih eksis berjualan di sebelah Mesjid UI sejak dulu sampai sekarang. Hampir mirip Nyonya Meneer lah. Hehe.

"Jadi bener kamu lanjut mau ta'aruf? Nggak salah lagi?" Giwa membuka pembicaraan sambil menyeruput coffee mix favoritnya itu.
"Serius lah Wa, love at first sight kalau kata orang-orang mah" Alif menggigit pisang goreng krispinya.
"Sama siapa?" tanya Giwa sambil meletakkan cangkir kopi miliknya dan menatap wajah Alif dalam-dalam. Seolah menyampaikan pesan untuk Alif agar jangan bermain hati lagi dengan menolak wanita hanya karena alasan "nggak klik" atau "nggak ada chemistry". Giwa tahu benar karakter Alif yang sangat pemilih.
"Ada dech. Nanti aja kamu aku kenalin setelah ta'aruf besok" Alif sumringah.
"Yaah bikin penasaran aja."jawab Giwa sambil menikmati kerenyahan pisang goreng pontianak Mba Minah yang sudah lama ia rindukan.

"Ohya, gimana di Petronas? Jadi kamu mau direkrut buat S2 di sana?" Alif bersemangat.
"Masih bingung, Bang. Aku pengen di Indonesia aja. Bikin usaha sendiri. Gimana ya Bang? Aku bingung dengan perasaanku. Beberapa kali aku istikharah tapi bukan keyakinan yang aku dapatkan. Malah bayangan Si Candy-Candy yang sekarang selalu memenuhi pikiranku." Kata Giwa kepada Alif. 
"Emang kenapa? Kamu ditawari ta'aruf juga? Sama akhwat Malaysia?" rentetan pertanyaan Alif kepada Giwa. 
"Iya, ada mahasiswi Indonesia yang mendapat beasiswa di Universitas Sutan Idris"
Giwa masih menerawang jauh. Ingatannya kepada Indri yang selama ini disebutnya Candy itu sedikit merubah rona wajah gantengnya.
"Cantik?" Tanya Alif lagi. 
"Iya cantik banget malah. Dia orang Padang, ada keturunan Tionghoa juga dari ayahnya."
"Aha... aku tau masalahnya. Pasti Ambu, kan? Dulu kamu pernah cerita kalau Ambu ingin punya menantu orang Sunda, bukan suku yang lain. Aduh Wa, dalam Islam kesukuan itu bukan hambatan dalam suatu pernikahan. Tidak ada aturan atau pakem seperti itu. Yang penting seiman dan shaliha, apalagi cantik banget, kalau aku sih pasti aku iya-in"
"Kalau Ambu sih bisa diberikan pemahaman lagi, Bang. Aku yakin beliau mau menerima. Akhwat yang ini sangat qualified, Bang. Hafidzah. Hafal 30 juz seperti idaman Ambu. Masalahnya Bang, aku sudah terlanjur janji dengan Candy. Tapi heran, surat yang aku kirimkan berkali-kali tidak pernah dibalasnya."
"Kenapa nggak dibalas?" Tanya Alif penasaran. 
"Entahlah Bang, aku jadi bingung sekarang. Apa aku temuin dia aja kali ya ke kost-kostannya?"
 "Mending gitu... biar jelas! Selesaikan satu-satu." 
"Besok dech aku ke Pondok Puteri, tapi anterin ya Bang, malu kalau datang sendirian"
"Apa? Pondok Puteri? Yang di belakang Asrama UI? Itu kan udah lama pindah, Wa! Tanah sengketa katanya. Sekarang pindah ke Margonda."
"Begitu? Serius? Sejak kapan...?"
"Sebulan setelah kamu ke Malaysia. Tapi ada satpam stand by terus di sana. Kalau telpon masuk sih mereka sambungin ke nomor telpon kost-an yang di Margonda. Aku pernah nelpon Lucy waktu dulu kepanitiaan acara pelatihan jurnalistik Islam. Tapi kalau surat? Ah, jadul banget sih hari gini masih pake surat-suratan" 

Giwa terhenyak!

"Bang, boleh pinjem motornya bentar?" Dengan gemetar Giwa langsung berlari menuju parkiran dengan kunci motor yang masih dia pegang. Adrenalinnya meluap-luap mengalahkan nyali tarung aikido tingkat mahir. 

Candy... kenapa tidak bilang? 

Tanpa sempat Alif meng-iya-kan, Giwa sudah menghilang. Alif hanya bisa melongo heran. Dilahapnya pisang goreng ketiganya. Masih dengan secangkir kopi luwak kesukaannya.

DI PONDOK PUTERI

"Maaf mas, kalau surat memang saya nggak anterin kesana. Soalnya saya kerja sendirian. Pulangnya saya jaga lagi di rumah bos di Menteng. Kalau telat dikit ngamuk dia. Soalnya lagi kasus tanah sengketa, Mas. Bawaanya sewot mulu. Saya jadi nggak sempet nganterin itu surat-surat. Palingan surat cinta anak ABG, nggak penting juga. Kalau surat dari Pengadilan saya langsung anterin ke Bos"

Apapun alasan pak satpam dengan aneka alibinya. Giwa tidak perduli. Bukan salah dia juga. 
Rasa bersalah Giwa sudah di ubun-ubun. Dipeganginya empat amplop surat yang sudah lusuh itu. Selusuh hatinya sekarang. Betapa bodohnya dia saat berpisah dari Candy, luput untuk meminta nomor telepon Pondok Puteri. Karena dari awal Candy pindah dari Asrama UI ke Pondok Puteri, mereka hanya berkomunikasi lewat surat. Maklum, selain lokasinya dekat, rasanya lebih nyaman lewat tulisan daripada ngobrol langsung. Setidaknya lebih menjaga hati. Pikir mereka waktu itu.

Air mata Giwa menetes sudah. Diambilnya ponsel dari saku celananya. Hendak mengabari Alif kalau dia mau pergi ke Pondok Puteri yang berada di Margonda malam ini juga. Sendiri. 

Baru saja mau menelpon Alif, tak sengaja Giwa melihat ada pesan masuk. Dia belum sempat membukanya karena selain ponsel dia dimatikan selama dalam pesawat, juga karena sejak pagi mengurus adminisrasi wisuda dan ketiduran lalu tanding aikido... Aih, hampir saja terlupakan. Segera dibukanya pesan itu walaupun dari nomor yang tidak bernama, kuatir dari klien Petronas. Biasanya begitu. Klien baru yang melihat nomor kontak dari website UTP, bukan bertemu langsung.

Kang, ini Indri. Maaf mengganggu. Ind tau nomor hape akang dari Almira, puterinya pak Darwis. Akang selama ini kenapa? Sudah lebih dari 6 bulan dari amanat akang ke saya dulu. Sekarang Ind bingung karena ada pinangan dari lelaki lain. Sekali lagi punten pisan Kang kalau saya lancang. Mohon dibalas.

Degg. Hampir copot jantung Giwa.

(Bersambung)










8 comments:

  1. Replies
    1. Makasih atas suntikan energinya ya mba... sudah mendekati ending kok..

      Delete
  2. Huhuhu... nangis beneran deh bu😭😭

    ReplyDelete
  3. Netes juga nih air mata...huhuhu
    Mantab banget bu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih apresiasinya bu Marlina... jadi penyemangat saya untuk menulis lagi walau kesibukan sedang menggunung.

      Delete