Giwa tak bisa melepaskan pandangannya dari gadis bermata coklat yang kini berdiri begitu dekat di hadapannya. Dekat sekali. Kira-kira jarak pemisah keduanya hanya 1 langkah kaki dewasa saja. Bola mata yang membuat Giwa jatuh hati itu kini berlinang samudera. Tidak usah berkata, tatapan keduanya menyiratkan banyak cerita. Cerita tentang kerinduan yang terbengkalai, kepastian yang terabaikan dan mimpi yang tertunda.
Cinta.
Ya, ini cinta. Kedua mata yang beradu pandang saat ini cukup mengisyaratkan elegi rasa yang membuncah. Seandainya boleh, Giwa ingin mendengarkan kisah Indri yang selama ini dirindukannya. Dan seandainya boleh, Indri pun ingin mendengar penjelasan langsung dari Giwa. Seandainya boleh.... mereka ingin waktu pertemuan ini tidak sesaat saja.
Tidak boleh!
Kost-kostan Pondok Puteri yang ditinggali Indri tidak memperkenankan seorang laki-laki berlama-lama disana. Peraturan ketat yang sejalan dengan prinsip Indri. Inilah yang membuatnya nyaman tinggal disini.
Hanya satu orang laki-laki paling ganteng yang boleh berada 24 jam di Pondok Puteri. Laki-laki yang memasuki gerbang sambil membawa tiga renteng kopi instan dan kacang Garuda ukuran jumbo.
"Eeeh, ini udah ketemu!" Sahut Mang Udin mendekati Indri dan Giwa yang masih bertatapan.
"Oh, ya, Mas, sudah ketemu kok, iya, hmm... saya pamit pulang dulu ya, Ind jangan lupa pesan Akang ya... " Giwa mengusap wajahnya dengan cepat, seolah tak ingin Mang Udin tahu bahwa dia baru saja meneteskan air mata. Begitupun dengan Indri yang segera mengusap matanya dengan ujung jilbab yang dikenakannya.
"Iya Kang" jawab Indri singkat.
Mang Udin menatap wajah Indri yang menunduk pilu.
"Yah kok sedih Mba.... ada apa? Itu yang tadi datang siapanya Mba?" Prosedur tetap yang harus dijawab jujur itu membuat Indri bingung untuk mengucapkan kata-kata.
"Dia kakak kelas saya Mang"
"Kesini datang, untuk?" Selidik Mang Udin.
"Kasih surat, Mang.... "
"Oh... begitu, kok banyak banget suratnya, satu,dua,tiga,empat... empat surat,Mba? Ma..lai...sya.. Muhamm...mad Gi..." Kepala Mang Udin sampai miring-miring demi membaca alamat si pegirim surat yang kini sedang dipegang Indri.
"Ih, Mang Udin mah kepo deh... " Indri refleks menyembunyikan surat di belakang punggungnya.
"Sudah kuduga!" Gaya detektif Mang Udin keluar. Kedua tangannya dilipat di dada.
"Maksudnya?" Indri penasaran.
"Iya, itu surat pasti dari pamannya Mba Indri yang ada di Malaysia. Mba sedih karena itu surat baru sampainya sekarang. Pasti ini ketahan atau keselip atau sengaja diabaikan di kantor jasa pengiriman. Nah, Si Akang Ganteng tadi itu adalah kakak kelas Mba yang berprofesi sebagai kurir. Pesan terakhir yang dia katakan ke Mba adalah agar Mba jangan lupa untuk menjaga rahasia dan nggak bilang ke saya kalau dia hanyalah seorang kurir! Idiiih sok-sok'an bergaya necis mirip artis, padahal palsu... biasanya modus ini digunakan untuk menjerat gadis-gadis polos dan lugu. Wah, Mba Indri jangan terjebak sama dia ya... bahaya ini..."
"Piinteeerrr..... kok mang Udin bisa sangat tajam sekali analisanya?" Indri menahan tawa sedemikian rupa. Menyipitkan mata dan menyungging senyum tanggung.
"Selamet...selamet...hampir saja" Ujar Indri dalam hati. Kali ini dia berterimakasih kepada sinetron kejar tayang yang berhasil mempengaruhi otak Mang Udin. Alhamdulillah juga, Indri sempat bercerita tentang Pamannya yang bekerja di Malaysia. Jika tidak, waah bahaya pisan atuuh...
"Heh,Udin Homeles dilawan.... detektif handal gitu loh! Jangankan cuma kurir jadi-jadian... genderewo aja lewaaaat..." Mang Udin melentikkan kelingking dan ibu jarinya... sok iye.
"Iya loh... handal banget, detektif Udin apa tadi? Udin Homeless?" Tawa Indri sudah tak bisa lagi ditahan, mendengar pelafalan "Holmes" menjadi "Homeless". Andai Mang Udin ngerti Bahasa Inggris.
"Eh, Mba... ini piscoknya gimana?" Sorot mata mang Udin mendarat pada sebuah kardus Indomie yang berisikan pisang coklat sisa yang tidak terjual oleh Indri. Dia tidak menyadari Indri tengah menertawakannya.
"Buat Mang Udin saja semuanya, teman nonton bola nanti malam sekaligus hadiah tadi udah sukses memecahkan kasus!" Teriak Indri dari atas. Sambil tetap menahan tawa memandangi Mang Udin yang puas memecahkan kasus penyamaran kurir ganteng tadi.
Lelaki 24 jam itu tersenyum puas.
Indri segera memasuki kamar.
Ada yang membuat hatinya bergejolak.
Empat surat.
Kang giwaaaaaaa
ReplyDeleteDitunggu lanjutannya macan
Jangan lama lama ya..
ππππππ
InsyaAlloh mba wied... aku akan "memaksakan" menulis tiap hari
DeleteBagus sekali umi...semoga lancar dan istiqomah ya
ReplyDeleteAduuh... komen yg ini bingung balesnya... abie mah... di rumah aja komennya... malu kan kalau disini... btw, aamiin semoga umi tetap istiqomah ya bie... makasih ya atas support yg tiada henti
DeleteAkhirnya kang giwa balik juga. Kangen!
ReplyDeleteI'm back... because of you all...
DeleteBesok kang giwa lagi yaaaa..
ReplyDeleteOh tentu mba lisa cantik....
DeleteAhahaha homeless ππ welcomeback bunn
ReplyDeleteIya... homeless... welcome juga ya... duh. Mang Udin memang bikin garing yah
Deleteemakk.. kang Giwa uwess balikk.. welcomeback, mba... I missss u sangat :x
ReplyDeleteMiss u too...
DeleteIni yang ditunggu-tunggu
ReplyDeleteBu indri ini marlina tp pake email suami...hehehe...saking pingin buru2 komen ga taunya masih akun suami
DeleteTerimakasih sudah setia menunggu bunda...
Deleteaseeekk, ada lanjutannya πππ terus terus...
ReplyDeleteYa.. terus..terus.. lurus... bales kanan... kiri... bales lagi... ahahaha...
DeleteYukkk ahhh bund, kang giwa jumpa pers..
ReplyDeleteCoba cici cariin dong pemeran Kang Giwa yg pas... sepertinya cici pas jadi Candy-nya nich... hehe
Delete