Sunday, August 28, 2016

Kang Giwa (18) : "Inilah Candy..."



SUATU MAGHRIB DI MESJID UI

Rapat kepanitiaan tim DANUS (Dana dan Usaha) untuk seminar yang mengusung tema "Pernikahan Dini" yang sedianya akan diadakan pasca wisuda kelulusan mahasiswa UI tahun 2002 itu berlangsung seru. Bagaimana tidak? Acara sudah mendekati hari H.

"Bagaimana dengan perolehan dana sementara kita?" Tanya Bang Saiful kepada anggota timnya yang berjumlah 5 orang termasuk salah satunya Indri. 
"Dana sementara masih belum mencapai target, Bang. Dari progress proposal baru 30%. Tapi proposal sih sudah disebar semua, tinggal nunggu jawaban aja. Sementara menunggu, kita juga tetap aktif mencari pemasukan dana harian dari berjualan, Bang. Tim sudah saya bagi-bagi, ada yang berjualan jilbab, kaos, buku, pin atau bros sampai makanan juga. Pokoknya semua dikerahkan, Bang! Hasilnya lumayan banget, 20% dana sudah tertutup dari ini. Saya sih optimis Bang dengan total 50% dana yang terkumpul ini selebihnya kita estimasi dari ticketing, bisa tembus!" Andi, mahasiswa fakultas ekonomi jurusan akuntansi itu menjelaskan kondisi dana yang sudah berhasil dikumpulkan.

"Alhamdulillaah... kalian memang tim yang kompak dan hebat! Syukron jazakumullaah... terimakasih, semoga Alloh membalas peluh keringat perjuangan kita semua dengan rezeki yang tak terhingga." Kata Bang Syaiful bersemangat dan serentak diamini oleh semua peserta rapat.

Indri hanya menyimak dan tertunduk lemah. Diliriknya kardus bekas mie instan yang terletak tepat di sebelah kanan tempat dia duduk lesehan. Masih tersisa 20 lagi... 
Tadi di kampus cukup padat agenda praktikumnya, sehingga dia tidak bisa menjual habis pisang coklat yang selama 3 bulan ini menjadi "mata pencaharian" untuk dana seminar yang diadakan oleh Rohis SALAM UI itu. Setiap subuh sebelum berangkat kuliah, Indri harus mengambil pisang coklat yang familiar  disingkat piscok itu di rumah Ibu Sandon di stasiun Pondok Cina (Pocin). Setiap harinya sebanyak 100 buah piscok harus dia jual dengan berbagai cara. Beruntung kalau perkuliahan di kelas besar yang dihadiri semua jurusan di FMIPA, piscoknya bisa langsung habis terjual dalam waktu singkat. Tapi kalau tidak ada kelas bersama, terkadang piscok yang tersisa ini dibawanya ke Pondok Puteri dan dijual kepada penghuni kost-kost-an dengan harga miring. Tak apalah... yang penting masih ada laba yang bisa disetornya ke bendahara.

Seperti hari itu. Ada 20 potong piscok yang harus dibawanya pulang ke rumah kost lagi. Kadang Indri berfikir juga, tentang penghuni kost yang menjadi bulan-bulanan piscoknya.  Selintas terbayang ekspresi lucu dari Lucy setiap kali Indri pulang dengan barang dagangannya yang belum laku,
"Aduuh, Ind... masa kita makan piscok lagi, piscok lagi... ganti yang lain dong.. tahu isi atau apa gitu" Kalau ingat itu, Indri tersenyum geli.

"Hey! Senyam-senyum sendiri! Ngelamunin apa?" Tegur Mba Amel mengagetkan Indri.
"Oh, enggak Mba. Nggak apa-apa kok..." Indri tersipu.
"Jangan-jangan kamu malah ngelamunin tema seminar kita kali ini ya?" lanjut Mba Amel.
"Bukan, Mba. Bukan itu, beneran dech!" Jawab Indri yang langsung menghentikan lamunannya tadi.
"Yaudah kalau gitu fokus lagi ke rapat ya, sambil kita cari cara lain untuk menggenjot perolehan dana kita"
"Baik, Mba" Jawab Indri dengan wajah yang kembali serius.

Perkuliahan yang padat, praktikum, tugas dan presentasi kelompok sudahlah cukup membuat Indri kelimpungan. Ditambah dengan tugas tambahan mencari dana untuk seminar. Giliran jalanin proposal pasti yang senior-senior, tapi kalau urusan repot pasti yang junior deh. Hukum alam. Pasti mereka juga dulu mengalami ini. Gantian. Regenerasi nasib.

Lelah? Pasti!
Lelah fisik dan lelah batin. Apalagi tema seminar kali ini membuat Indri baper alias "terbawa perasaan". Sebuah pernikahan dini yang akan dibawakan oleh Ustadz Fauzil Adhim, pengarang buku "Indahnya Pernikahan Dini" yang laris manis di pasaran bak kacang goreng.

Bukan hanya lelah. Tapi malu juga. Kadang, teman-teman kuliah memandang kasihan dengan Indri yang harus menenteng kardus piscok setiap hari dari kelas yang satu ke kelas yang lain. Sendirian. Mungkin mereka membeli piscok dengan alasan itu juga. Tapi mau bagaimana lagi? Sudah tugas negara. Mana ada sih yang mau jadi panitia dana? Kalau bisa memilih, pasti Indri akan lebih memilih menjadi panitia acara atau humas. Tapi nasib, kepanitiaan sudah ditentukan oleh para senior. Sudah tidak bisa protes. Padahal dengan jurusan Farmasi yang dijalani Indri saat itu sangatlah kurang pas jika diberikan tugas ini. Berbeda dengan teman-teman yang dari jurusan sosial, mungkin akan lebih leluasa.

"Oke ya Ind, nanti makanan yang kamu jual ditambah tahu isi ya, ibunya Rara pinter bikin tahu isi, jadi nanti pagi-pagi kalian janjian aja di halte Pocin. Lumayan nanti akan banyak peminat nih" Mba Amel memberi mandat baru.

Indri tersenyum lagi.
"Hey! Ind, kamu kok masam-mesem aja dari tadi! Kenapa? Kamu meledek saya, ya?" Mba Amel mulai tidak nyaman dengan sikap Indri.
"Astaghfirullaah. Maaf Mba Amel, bukan meledek. Saya cuma teringat temen kost-an saya yang request tahu isi. Jadi seperti jodoh gitu mba. Impian dia tentang tahu isi terkabul sudah. Soalnya tiap hari aku paksa dia makan piscok sisa jualan, Mba. Maaf sekali lagi bukan meledek Mba atau gimana... " Jawab Indri dengan sedikit kuatir atas sikapnya hari ini kepada Mba Amel yang begitu perhatian padanya. 

Iya, kenapa cuma Indri yang diperhatikan? Padahal teman-temannya yang lain malah pada cekikikan nggak ditegur apa-apa. Beginilah nasib. Indri tahu, semenjak proses ta'arufnya dengan Alif diketahui oleh kalangan terbatas Rohis kampus, ada beberapa senior yang agak sensitif kepada Indri. Malah tak jarang tatapan sinis mendarat di wajahnya dari beberapa akhwat cantik dan bonafid. Mungkin mereka heran, kok bisa-bisanya Alif suka dengan Indri yang tidak lebih baik dibanding mereka. Baik dari rupa maupun penampilan. Hal ini pula yang membuat Indri tidak terlalu bahagia dengan proses ta'arufnya dengan Alif. Tapi Indri tidak ambil pusing, toh mereka tidak bertanya langsung kepadanya, anggap saja bukan karena berita itu.

Indri hanya gadis biasa. Sangat sopan dan sederhana. Dengan tinggi badan yang tidak sampai 160 cm, badannya yang mungil, kulit putih, pipi tembem dan mata bulatnya yang berwarna coklat memang menjadikan dia lumayan manis.  Baju yang dikenakannya bisa dihitung dengan jari. Mungkin cuma ada 10 potong stelan baju yang biasa dikenakannya. Disaat gadis-gadis lain berlomba menambah koleksi baju-bajunya, Indri hanya bisa mengotak-atik hari saja, baju dan jilbab yang dikenakan tetap berputar yang itu-itu saja. Sampai-sampai pernah teman kuliahnya hafal dengan Indri dari kejauhan hanya dengan melihat bajunya saja. Saking nggak pernah ganti koleksi.

Indri cukup cerdas. Indeks Prestasi Kumulatifnya (IPK) selalu terjaga di atas tiga koma. Biaya hidupnya sehari-hari dipenuhi dari beasiswa, hasil mengajar privat Almira dan kadang dari proyek serabutan. Cukup? Oh tentu tidak. Tak jarang Indri puasa Nabi Daud untuk menyelaraskan kondisi keuangannya. Tapi Indri punya sahabat yang sangat baik, Lucy. Dia selalu siap membantu jika Indri kesulitan keuangan. Tapi Indri bukan peminta-minta, dia akan membayarnya walau dengan memberikan Lucy les privat Alqur'an, tugas kuliah atau apapun sampai jadi pendengar setia curhatan Lucy soal asmara. 

Keadaan Indri ini belum diketahui Alif. Entah setelah ta'aruf Alif akan menerima Indri yang hidup sebagai anak yatim piatu dan sangat sederhana ini masih akan dilanjutkan atau tidak, yang jelas Indri sudah pasrah. Alif berasal dari keluarga yang kaya, berpendidikan tinggi dan cukup terpandang. Berbeda sekali dengan keadaannya. Tapi anehnya, Alif tetap melanjutkan proses ta'arufnya setelah bertukar biodata. Mengapa dia begitu yakin dengan Indri? Apakah karena kasihan? Ah, tidak juga, karena dalam biodatanya, Indri tidak menuliskan statusnya yang yatim piatu. Kuatir memelas iba. Sudah menjadi rencana Indri untuk menceritakan kisah hidupnya saat bertemu muka saja.

Namun jauh di lubuk hati Indri masih tersimpan rapi sesosok lelaki yang dulu menemukannya termenung di belakang Mushola SMA karena kehilangan dompet saat masa ospek. Lelaki yang memberikan selembar uang sepuluh ribu untuk ongkos pulang. Lelaki yang sudah melihat wajahnya tanpa hijab... Indri ingin lelaki itulah juga yang kelak memberinya bahagia.

Selepas maghrib di mesjid UI, Indri bergegas pulang ke Pondok Puteri. Tak lupa dengan membawa kardus mie instan yang berisi 20 buah piscok yang tidak habis. Indri melewati warung  Mba Minah. Ada Alif yang sedang asyik bercengkrama dengan teman satu angkatannya yang tak sengaja datang untuk menikmati kopi dan pisang goreng krispi Mba Minah yang kesohor itu. Alif tidak melihat Indri, begitupun sebaliknya. 

Indri berjalan gontai menyusuri pinggiran trotoar jalan menuju Margonda. Lampu-lampu mulai menyala di sepanjang jalanan UI. Pondok Puteri lumayan tidak terlalu jauh, jadi cukup dengan berjalan kaki bisa ditempuh dengan mudah. Lumayan, seribu langkah sih lebih. Indri sudah sangat lelah hari ini. Setelah berkali-kali menengok ponselnya. Belum juga ada balasan dari Giwa tentang pesannya yang dikirmkan melalui sms subuh tadi. Mungkin salah nomor. Indri sudah memantapkan hatinya untuk acara ta'arufnya dengan Alif, besok jam 1 siang di Mesjid Palapa. Dengan sisa lelahnya. 


PONDOK PUTERI MARGONDA

Giwa sudah berada di pekarangan Pondok Puteri. Memberanikan diri untuk bertemu Indri secara langsung. Giwa mengenakan kemeja Polo putih yang sedikit menonjolkan otot lengannya, celana jeans Levi's berwarna biru tua dan sepatu kulit Obermainn coklat muda yang semakin menambah kegantengan Giwa. Rambutnya yang tertata rapi, garis wajahnya semakin dewasa. Sosok itu sangat modis dan elegan. Giwa mulai memperhatikan gaya dan penampilannya semenjak dia menjadi CEO perusahaan start up yang dirintisnya bersama dua orang temannya di Malaysia. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa konsultan dan aplikasi sistem untuk mengolah data metalurgi. Giwa sudah hidup mapan di Malaysia. Oleh karenanya dia kini berani pulang menemui Ambu. Sekarang Giwa sudah sukses seperti yang dilakukan almarhum Mamat. Ini adalah janji Giwa kepada Ambu, ibunda Giwa. Mandiri dan sukses seperti Ahmad Juwana alias Mamat yang sudah pergi mendahuluinya kepada Sang Pencipta. 

"Assalamu'alaikum...", sapa Giwa kepada penjaga kost, "Maaf Mas, apakah benar disini ada mahasiswi jurusan Farmasi bernama Indri?" Tanya Giwa kepada Mang Udin yang sedang asyik mengisi teka teki silang di teras depan. 

"Wa'alaikumussalam, Mas siapanya Mba Indri ya?" Mang Udin balik bertanya sambil memandang Giwa dari ujung rambut hingga ujung sepatu. 

"Saya kakak kelasnya, Mas... bisakah saya bertemu dengan Indri sebentar?" Jawab Giwa sambil memandang sekeliling ruang Pondok Puteri yang terdiri dari 2 lantai itu. Siapa tau ketemu Indri. 

"Belon pulang, Mas... Mba Indri kalau pulang habis maghrib atau habis Isya. Biasanya suka ngajar les dulu ke rumah Alora apa Adira gitu ... Eh, Adira mah kredit motor saya yah,.. Siapa ya namanya.. anak SMA yang pernah kesini juga tuh.." Jawab Mang Udin kocak.

"Almira, bukan?" Selidik Giwa. 
"Iyaa... Almira... nah ntu die namanya, bener..!" 

"Terus, Mas kesini mau ngapain? Kok Mas ganteng banget ya, mirip bintang film siapa gitu...yang maen film kebut-kebutan di bis sekolah sama perempuan cantik..." 

"Keanu Reeves?" Jawab Giwa polos. 
"Iya bener! Keanu Reeves... " Mang Udin memutari badan Giwa dan berusaha memastikan kemiripannya dengan Keanu Reeves. Giwa yang masih berdiri di pekarangan kost, mulai merasa tidak sabar lagi. 

"Maaf, Mas, Saya kesini mencari Indri, bukan jumpa fans begini." Jawab Giwa sambil tersenyum hambar melihat tingkah Mang Udin. 

"Oke.. kalau Mas nggak percaya, biar saya paranin ke atas dulu ya, siapa tau dia udah datang tapi saya nggak ngeh. Mas tunggu aja disini. Duduk di kursi tunggu.. silahkan.." Mang Udin masih dalam ketakjubannya kepada Giwa. 

Giwa bernafas lega. Coba sedari tadi dipersilahkan duduk. Dia sudah pegel berdiri. Giwa akhirnya bisa sedikit menenangkan dirinya. Tak sabar ingin melihat Indri dan menjelaskan semuanya. Jangan sampai ada kesalahpahaman. Dan Giwa ingin menyampaikan hasil istihkarahnya selama ini. Ah, bukan itu juga... Giwa rindu! Ya, Giwa rindu dengan Si Candy-Candy. 

Giwa mengambil koran yang tersedia di ruang tunggu. Sudah lama tidak membaca koran Indonesia. Dilihatnya kolom pertama tentang lomba industri kreatif dari  Kementrian Perdagangan dan Perindustrian yang baru. Wow, Giwa langsung tertarik sekali. Ini peluang emas! Perusahaan start up-nya bisa diikutkan dalam lomba ini dan siapa tau bisa menjadi jalan mulus untuk membuka bisnis di negara sendiri. Giwa semakin khusyuk membaca baris demi baris kata-kata dalam koran harian ibukota tersebut.

"Assalamu'alaikum, Mang Udin... saya pulang!" Indri mulai memasuki pekarangan. Ditutupnya pagar kost dengan perlahan. Mata Indri menatap sosok yang sedang duduk di teras depan, sedang membaca koran yang dibukanya lebar-lebar sampai hampir menutup muka si pembaca. Yang terlihat hanya ujung rambutnya saja. Indri menatap heran. Tumben Mang Udin serius banget membaca korannya, sampai-sampai tak bergeming sama sekali. Jarang-jarang membaca koran layaknya seorang eksekutif muda, palingan juga TTS.
Indri melanjutkan langkahnya, baru tiga langkah, suara ponselnya berdering.  Dari Almira!

Sudah biasa. Telpon dari anak yang satu ini pasti membuat Indri senewen. Ngagetin.
"Kak Indri... tolongin Al... website-nya nggak bisa dibuka! Coba sekarang Kak Indri ke warnet dech.. bukain dari sana siapa tau bisa! Ini penting banget..." 

Hadeuhh. Masalah lagi.
Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan UMPTN. 
"Al, Kakak baru aja pulang. Nanti ya, mau mandi dulu bentar. Udah lengket ini keringat di badan dari pagi, nanti Kakak cek, tenang aja.." Jawab Indri. 

"Enggak Kak, musti sekarang... Almira nggak mau entar... ini jantung Al sudah mau copot... udah nggak sabar lagi pengen lihat pengumumannya, please... " Almira memaksa. 

Akhirnya Indri menyerah juga. Dia berjalan mendekati ruang tunggu. Diletakkannya kardus piscok sisa dagangannya tadi pagi. 

"Mang, titip piscoknya ya, kalau Mang Udin mau ambil aja... Saya mau ke warnet sebentar, penting!" Indri meletakkan kardus sambil melihat sekilas ujung rambut yang dikiranya Mang Udin tadi. Giwa sangat fokus dengan syarat-syarat lomba yang harus dipersiapkannya karena ternyata deadline tinggal hari ini pukul 24.00.

Indri hanya menghela nafas panjang dan langsung bergegas keluar dengan ponsel yang masih melekat di telinganya. Indri tidak diberi kesempatan bahkan sekedar untuk menutup telponpun tidak boleh. Begitulah, Almira sangat cerewet, dia ingin benar-benar memastikan bahwa Indri menuruti keinginannya. 

Giwa masih asyik dengan korannya. Dilihatnya Swiss Army di tangan kanannya menunjukkan pukul 19.30 malam. Dia berfikir sejenak. Bingung harus bagaimana. Antara menunggu Indri atau meyiapkan bahan untuk lomba. Banyak berkas yang harus diisi dan diupload. Giwa memutuskan untuk mencari warnet sekarang juga. Nanti setelah selesai dia akan balik lagi ke Pondok Puteri, toh Indri pun belum pulang, pikirnya. 

"Mas.. Mas... Saya mau pamit sebentar!" Giwa memanggil Mang Udin yang baru saja menuruni tangga. 
"Mba Indri belon pulang , Mas, tadi kata Mba Lucy, dia rapat di mesjid UI, bentar lagi pulang sih biasanya, nggak sampe malem, kecuali dia nginep di rumah temennya. Tapi belum ada kabar atau sms juga sih kalau dia mau nginep" Panjang lebar Mang Udin menjelaskan. 

"Iya Mas, nggak apa-apa,  Saya mau ke warnet sebentar aja kok, nanti Saya balik lagi kesini. Ada yang harus Saya kerjakan!" Giwa segera meninggalkan Pondok Puteri. 

Mang Udin hanya mengangguk dan melanjutkan TTS nya. Duduk di ruang tunggu, seperti biasanya. 

Giwa memasuki warnet. Di sana ada Indri yang sudah terlebih dulu datang. Ruangan warnet disekat-sekat dengan batas lumayan tinggi. Siapapun tidak bisa saling melihat. Semua asyik dengan urusannya masing-masing. Dan juga, ini untuk menjaga privasi si pengguna warnet. Ruang komputer Indri dan Giwa bersebelahan. Persis.

Indri menyerah. Website UMPTN ternyata memang sedang down, error. Indri lalu bergegas kembali ke Pondok Puteri. Sedangkan Giwa baru memulai misinya untuk mendaftarkan perusahaan start up miliknya dalam lomba industri kreatif.

Indri memasuki Pondok Puteri dengan sisa tenaganya yang dimilikinya. Dia buka pagar dengan perlahan dan berjalan menuju teras depan, tempat Mang Udin biasa berjaga-jaga. 
"Mang Udin... asyik bener tadi baca korannya. Tumben. Biasanya ngisi TTS." Indri mendekati Mang Udin.

"Eh, Mba Indri...udah dateng! Tadi ada yang nyariin... cowok ganteng... lah, namanya siapa ya tadi?" 
"Nyariin saya? Cowok ganteng? Ah, becanda aja Mang Udin. Salah alamat kali Mang, Nama Indri kan pasaran, di kost-an sebelah juga ada yang namanya Indri dan memang sering didatangi pacarnya yang ganteng. Jangan-jangan dia salah alamat, Mang!" Jawab Indri sekenanya. 

"Oh, iya, bisa jadi ya, habisnya beda banget sama cowok-cowok yang suka nyariin Mba Indri. Biasanya kan cowok berjenggot, celana ngatung atau celana gunung gitu ya. Nah, kalau tadi itu cowoknya beda, ganteng banget dan gayanya necis!" Mang Udin berusaha membuat konklusi. Setelah meminta sepotong piscok dari Indri, Mang Udin pamit keluar sebentar kepada Indri hendak membeli kopi untuk agenda begadang malam ini menonton pertandingan sepak bola tim kesayangannya, Persija.

Indri duduk di kursi teras. Ingin melepas lelah sebentar dan penasaran dengan koran yang dibaca Mang Udin dengan serius tadi. Dibacanya perlahan. Matanya terkejut melihat setumpuk surat yang tergeletak di atas meja. Tepat di sebelah kardus piscok miliknya. Diambilnya surat itu satu per satu. Kaget bukan main ketika Indri melihat namanya tertulis rapi di sampul depan surat itu.

Kepada : 
Indriana Larasati
Pondok Puteri, Jl.Srengseng Sawah No.19, Depok, Jawa Barat 15154

Buatku? 

Indri refleks berdiri. Dibaliknya amlop surat tersebut satu per satu untuk memastikan siapa pengirimnya. 

"Astagfirullaah... surat dari Kang Giwa?" Indri terperanjat.

Lamat-lamat dilihatnya sosok gagah memasuki rumah kost, pandangan Indri tak berpaling sedikitpun dari fokus kedua bola matanya yang indah itu. Tangannya gemetar. Tubuhnya mulai panas dingin. 

"Assalamu'alaikum..." Giwa mengucap salam sambil berjalan menuju teras. Hatinya berdegup kencang saat melihat gadis yang tengah berdiri di ruang tunggu. Giwa berusaha mengenali jilbab biru yang dikenakan gadis itu. Giwa masih hafal benar. Jilbab biru yang dikenakan Indri satu tahun yang lalu. Saat kejadian di halte Asrama. Saat Giwa mengutarakan perasannya kepada Indri. 

"Wa...Wa'alaikumussalam... Kang.. Kang Giwa?" Indri seolah tak percaya.

"Indri?" Giwa memastikan. Mata elangnya tak berhenti menyelidiki.

Keduanya saling berpandang. Dari jarak dekat. Hanya Isyarat mata yang berbicara. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Hanya bulir air mata yang mulai menggenangi keduanya. Satu per satu bulir itu menetes anggun. Mengiringi keheningan dua insan. Giwa yang berusaha tegar, tak kuasa melihat gadis manis didepannya yang terlihat sangat lusuh dan berantakan. Walau begitu, wajah manisnya tak sedikitpun terkurangi. Tetap seperti dulu. Tapi lebih sayu. 

"Ind, apa kabar?" 
"Baik, Kang..." satu bulir bening menetes lagi. 

"Tentang pinangan lelaki lain itu, putuskan saja setelah kamu membaca surat Akang ya"

Indri menoleh surat yang saat ini sedang dipeganginya. Lalu perlahan memandangi Giwa lagi. Tak ingin melepaskan momentum ini. Setidaknya memastikan bahwa ini bukan mimpi. Sang Ksatria kembali lagi. 

Dari kejauhan, Alif memandangi dua sejoli itu. Alif sadar benar apa yang tengah terjadi antara Giwa dan Indri. Niatnya menyusul Giwa ke Pondok Puteri karena sudah lama sekali motornya yang dipinjam Giwa belum juga kembali, ternyata mengungkap teka-teki siapa Si Candy-Candy sebenarnya.

Alif pergi. 
Dengan hati yang terlanjur perih.

(Bersambung)

12 comments: